Sekitar terasa sunyi dalam sekejap, petir bagai menyambar hati Awan. Matanya tak berkedip seolah tengah merasakan sakit hati yang dirasakan Atala.
Awan menatapnya, satu tetes bening berhasil lolos melihat wajah Atala yang semakin memucat. Dada gadis itu naik turun, menandakan jika jantungnya berdetak tak normal.
Awan kembali merengkuhnya, membenamkan kepala Atala pada dada bidangnya, air matanya membasahi atas kepala Atala. Dingin, pun bisa dirasa oleh Atala bahwa Awan sedang menangis saat ini.
Neta membuang muka, dirinya sama kagetnya dengan Awan. Kepalanya beberapa kali menggeleng keras mengingat perkataan Atala.
Awan kemudian merenggangkan pelukannya lalu menatap Atala. "Kenapa?" Tanyanya kaku.
"Sekarang bukan waktunya buat jawab pertanyaan Lo, kita harus pergi sebelum om Bagas mergokin kita disini." Perkataan Neta membuat Awan mengangguk setuju.
Mereka menjalin rencana, Neta turun duluan melewati tangga yang mereka gunakan untuk naik ke balkon Atala sebelumnya. Sedangkan Awan kembali menyusun rencana. Tak mungkin ia turun menggunakan tangga, lalu Atala bagaimana?
"Wan?!" Teriak lirih Neta dari bawah. Membuat kepala Awan reflek menoleh ke sumber suara.
Neta menunjukkan tali cukup panjang pada Awan. Awan tersenyum lalu mengulurkan tangannya, sekejap tali itu sudah sampai di tangan Awan. Awan langsung mengikatnya di besi penghalang balkon. Setelah dirasa rapat, ia beralih memegang tangan Atala.
Menghembuskan nafas pelan, Awan melangkah melewati besi balkon lalu mengintruksikan kaki Atala agar mengikuti kakinya yang juga melangkah. Awan memegang tangan Atala kuat, cukup untuk membuat gadis itu agar tak terjatuh di tanah.
Awan mengarahkan tangan Atala ke belakang lehernya, lalu berkata. "Pegangan yang kuat ya La. "
Atala menahan nafas, hembusan nafas Awan terasa menyapu wajahnya. Pun Awan yang kemudian mengikat ujung tali pada tubuhnya juga tubuh Atala secara bersamaan. "Kalau sakit bilang. "
Lagi-lagi Atala menahan nafas, bisa Atala rasakan detakan jantungnya mulai berpacu tak karuan ketika hembusan nafas Awan bisa ia rasakan sebegitu dekatnya.
Atala kemudian mengangguk pelan, membuat sebagian fokus Awan terbagi, antara mata coklat yang menjadi candunya juga tanah yang mungkin saja bisa menjadi kasur jika ia terpeleset jatuh. Namun dengan hati-hati, Awan memegang ujung tali, kaki mereka sudah tak berpijak lantai balkon, namun getir kekhawatiran menyelimuti keduanya.
Hingga akhirnya mereka sampai di bawah, tepatnya di tanah yang sekarang mereka pijak. Tanpa memperdulikan tali yang masih bergelantung di balkon Atala, mereka segera masuk ke dalam mobil. Atala juga Neta duduk di kursi belakang sedang Awan menyetir.
Dalam perjalan menjauhi rumah yang serasa sarang hantu itu, hanya rasa syukur yang menyelimuti mereka. Beberapa kali juga Awan menyempatkan matanya memeperhatikan Atala lewat kaca depan.
Hingga mereka berhenti di pinggir jalan, Neta yang memintanya. "Terus gimana?" Tanya Neta
"Nggak mungkin kalau kit-" perkataan Neta terhenti saat dering ponselnya berbunyi. Ia segera mengangkatnya, lalu tak lama ia serahkan ponselnya pada Atala.
"Non?"
"Bibi?" Gumam Atala saat mendengar suara bi Inem dari dalam ponsel.
"Maafin bibi ya non, bibi nggak bisa nolongin non, bibi cuma bisa minta tolong sama non Neta buat bantuin non."
Hati Atala berdesir, ternyata bi Inem yang memberitahu Neta dan Awan?
"Maafin bibi non." Kata bi Inem dengan suara gemetar, menandakan kalau wanita paruh baya itu sedang menangis sesenggukan.
"Nggak papa bi, Atala malah makasih banget, bibi udah bantuin Atala sejauh ini."
"Tapi bibi ngebiarin non di seret sama tuan."
"Nggak papa bi, jangan dipikirin lagi, Atala nggak papa kok."
Tak lama setelah merasa lega, bi Inem memutus sambungan. Atala segera menyerahkan ponsel Neta kembali.
"Kalau Atala dirumah gue nggak mungkin, soalnya keluarga gue lagi ngumpul dan lusa baru pulang." Lanjut Neta pada perkataanya detik lalu.
"Aku nggak papa kok Net. Aku bisa..." Atala menggantung kalimatnya. Atala lupa jika tak ada keluarga yang bisa ia mintai tolong disini.
Awan menatap Atala, pun Neta yang juga menatapnya sambil menggenggam erat tangan Atala.
"Biar Atala sementara tinggal di rumah gue."
"Jangan gila!" Sahut Neta cepat.
"Ada mama gue di rumah." Jawab Awan tak kalah cepat.
"Sebaiknya jangan Wan. Nanti malah jadi fitnah."
"Ada mama gue La, atau Lo nggak mau karena takut gue macem-macem sama Lo?"
Atala mengerjap. Lalu menggeleng. "Bu.. bu.. kan."
"Kalau gitu dengerin kata-kata gue. Lo sementara tinggal di rumah gue."
☁️
☁️
☁️
Perlahan Atala langkahkan kakinya ketika menuruni mobil ke arah dimana Awan menggandeng tangannya.
Awan mengetuk pintu beberapa kali, membuat dada Atala tak kuasa menahan detak jantungnya yang semakin berirama tak tau waktu. Dan ketika pintu terbuka, seakan seluruh organ dalam tubuhnya kaku seperti mati rasa.
Awan mencium punggung tangan wanita paruh baya yang menjabat sebagai mamanya setelah salamnya di jawab. Sedang Atala tak tahu harus berbuat apa. Matanya tak bisa menangkap apapun, sekedar untuk menjabat tangan, rasanya sangat sulit.
Ranti, mama Awan kemudian bersuara. "siapa?" Tanyanya ramah, membuat Atala menyunggingkan senyum.
"Atala ma." Jawab Awan, Atala mengangguk.
Ranti mengernyit, mata yang membalas tatapannya tak berkedip, membuatnya menoleh ke arah Awan. Kemudian seolah mengerti Awan mengangguk, seketika kerutan di dahi Ranti menghilang begitu juga kaget yang luar biasa tengah menjalar ke seluruh tubuhnya.
Lalu kemudian Ranti menyentuh bahu Atala. "Namanya cantik, kayak orangnya."
Atala tersenyum. "Terimakasih."
Ranti kemudian menggandeng tangan Atala, mengajaknya masuk dan menyuruh Atala untuk duduk di sofa. "Udah lama ya temenan sama Awan?"
Awan berjalan cepat dan duduk di lengan sofa sembari berbisik lembut di telinga Ranti. "Pacar ma bukan teman." Katanya tersenyum bangga, seolah Atala adalah sesuatu yang sangat berharga yang perlu ia pamerkan pada dunia
Jangan lupa vote dan komen ya
KAMU SEDANG MEMBACA
Blind
Teen FictionAku nggak butuh mata, jika itu hanya mengambil salah satu nyawa. _Atala Ulfiana. Written by IndaPurna 28 November 2019 End 16 Maret 2020