"jangan di dengerin ya Ta." Ucap Neta sambil kembali merengkuh tubuh Atala dalam pelukannya.
Bagas, Ambar serta Angel sudah lebih dulu keluar dari kamar Atala. Kini tinggal dirinya, Bi Inem juga dokter yang berdiri di dekat Atala.
Dokter itu melangkah pelan ke arah Atala, lalu duduk di sisi kiri dan mengusap lengan Atala. "Yang sabar."
Atala merenggangkan pelukannya lalu menolehkan kepalanya ke arah suara dokter itu berkata.
"Dipakai lagi ya infusnya."
Atala menggeleng. "Enggak. Aku udah enggak apa-apa dok."
"Tap-"
"Beneran dok, aku udah enggak apa-apa."
Dokter itu menghembuskan nafas pelan. "Baiklah, kalau begitu saya pamit undur diri, kalau ada apa-apa mbak bisa langsung hubungi saya." Ucapnya.
Atala mengangguk, juga Neta yang mengangguk menirukannya. "Terimakasih," Ucap Neta.
Dokter itu sudah pergi, menyisakan Neta juga bisa inem yang masih setia di sana. Atala bersandar di headboard. Kepala serta telinganya sedikit berdengung, mungkin efek dari tamparan yang ia terima menit lalu.
Atala juga baru menyadari, bahwa ternyata hari sudah berganti sore. Tadi Neta memberitahunya, mengatakan bahwa dia baru pulang sekolah, otomatis sudah sore bukan. Inilah susahnya jadi orang buta, yang bisa di lihat cuma hitam semua, andaikan masih ada celah kecil untuk menerima cahaya, mungkin akan ada sedikit warna meski tak sepenuhnya.
"Non, bibi ambilin makan ya?" Ucap Bi Inem, kepala Atala kembali menggeleng. Untuk sekarang perutnya sudah terasa kenyang.
Bibirnya terangkat sedikit, tipis hingga tak ada yang bisa mengetahui. Dia begitu kagum kepada ayahnya yang lebih menyayangi istri keduanya daripada Atala, darah dagingnya sendiri.
Namun sedetik senyum itu kian menghilang, ketika bayangan ibunya kembali menelusup ruang hatinya. Berkata. "Atala nggak boleh nakal. Jangan bikin ayah sedih ya, ibu kan selalu ngajarin Atala buat bikin ayah tersenyum terus."
Lalu suara itu perlahan menghilang, menyisakan detak jantung Atala yang tak berirama. Atala terdiam sejenak, mencoba mencerna baik-baik suara ibunya yang masih menggema di dalam sana.
Sedetik kemudian suaranya kembali datang, lalu berkata. "Jangan nangis terus ya nak, ibu enggak akan pernah ninggalin Atala. Atala disana jaga diri baik-baik."
Atala mengangguk patuh, meski tak sadar jika itu hanya halusinasi.
"Mau keluar enggak?" Tanya Neta membuyarkan lamunan Atala seketika.
"Kemana?" Tanyanya parau, matanya sembab nan sayu, bibirnya kaku, pun wajahnya yang terlihat pucat. Seperti tak ada sedikitpun semangat di dalam dirinya.
"Ke taman biasanya. Nanti lo bisa cerita sama gue, ada apa sebenarnya."
Atala tak merespon, seketika otaknya merasa kosong, jantungnya sudah kembali normal namun jalan pikirnya tertuju pada malam hari Angel menyeretnya, membuangnya, menjambak rambutnya, lalu menariknya hingga rasanya darah dingin masih terasa bercucuran di atas kepalanya.
Mulutnya ingin bercerita panjang lebar pada ayahnya, lalu akan berkata, "ayah ceraikan saja wanita itu". Tapi mulutnya kembali kaku, seakan ada yang menguncinya lalu memberi gembok yang sangat kuat pada bibir Atala.
Hatinya juga berteriak, memanggil ayahnya. Lalu ingin bercerita tentang malam yang menyiksanya. "Angel jahat ayah, dia tarik rambut Atala, dia buang Atala." Namun percuma, toh ayahnya akan lebih percaya pada kedua manusia keji itu. Mana pernah ayahnya memperhatikannya, mendengarkan curhatannya, mengiyakan permintaannya?
"Gue sisir ya rambut lo, terus kita pergi jalan-jalan ke taman." Ujar Neta lagi membuat Atala mengangguk pelan.
Neta mengambil sisir yang ada di nakas samping tempat tidur. "Soalnya ada yang mau ketemu sama lo." Katanya lalu menyisir rambut Atala lembut.
"Siapa?"
☁️
☁️
☁️
Atala juga Neta duduk di bangku taman, tempat biasanya mereka bertemu. Angin sore begitu menyejukkan, membuat rambut Atala yang terurai sedikit bergerak pelan, kulit putihnya tersapu angin, seakan jaket tebal yang sedang ia gunakan bisa di terobos angin begitu saja.
Matanya terasa dingin, meski sedikit berat namun bisa membuat mata itu bercahaya indah. Ia hirup udara perlahan, rasanya menenangkan hatinya.
Tangan Neta semakin erat mendekap lengan Atala, seakan ingin memberi tahu pada Atala. "Gue akan selalu ada buat lo Ta."
"Siapa yang mau ketemu?" Tanyanya pada Neta.
Neta bergerak pelan, tersenyum tipis ketika matanya melihat dua orang berjalan kearahnya lalu menjawab perkataan Atala. "Tuh orangnya dateng." Katanya
"Gue tinggal ya Ta, nanti gue kesini lagi." Katanya sambil melirik Awan yang tersenyum tipis ke arahnya sambil bergumam. "Makasih."
Neta menjauh, mempersilahkan Awan duduk di tempatnya, lalu ia berjalan bersama Bara ke tempat lain.
Hati Atala berdegup pelan, namun berhasil membuat Awan bisa mendengarnya. Lalu Atala pun bertanya. "Siapa?"
Awan tersenyum. "Awan."
Mendengar itu hati Atala berdetak pelan, ada senyum tipis mengembang.
Lalu bagaimana jika Angel mengetahui kalau dirinya sedang bersama Awan saat ini? Bisa-bisa bukan cuma rambut yang akan dia rontok kan, tapi juga gigi serta rahangnya.
"Gimana kabarnya?"
Atala tersenyum tipis, sepertinya dia akan melupakan Angel sejenak, saat ini hatinya memerlukan penghibur. "Baik." Namun nyatanya tidak.
"Maaf."
"Untuk apa?" Katanya dengan dahi yang berkerut.
"Karena gue enggak bisa jagain lo kemarin."
"Santai aja," Katanya.
"Terus kemarin pulang sama siapa?"
Atala beringsut. "Ayah." Tergambar senyum palsu disana.
"Syukur deh, terus kenapa tongkatnya bisa jatuh?"
Atala berdiam sejenak. "Kemarin buru-buru, ayah cepet-cepet."
Setelah itu tak ada yang bersuara, hanya hembusan angin yang menemani kesunyian antara mereka. Sejenak Atala rasakan tangan halus bertumpu di telapak tangannya. Menyalurkan desiran hangat pada hatinya.
"Nggak apa-apa kan?"
Na.
KAMU SEDANG MEMBACA
Blind
Fiksi RemajaAku nggak butuh mata, jika itu hanya mengambil salah satu nyawa. _Atala Ulfiana. Written by IndaPurna 28 November 2019 End 16 Maret 2020