Selesai operasi dan setelah menunggu satu Minggu untuk membuka perban, orang yang pertama kali ku lihat adalah Neta. Dia menangis, tahu aku sudah melihat ke arahnya dan tersenyum dia langsung memelukku, begitupun aku.
Saat aku melihat sekitar hanya ada dokter juga wanita paruh baya dan dua laki-laki yang sepertinya seumuran denganku yang berdiri di tepi ranjang rumah sakit.
Ketika dokter dan kedua suster sudah keluar, wanita paruh baya itu kemudian mendekat ke arahku, dan aku tau betul siapa beliau. "Mama?" Tanyaku lirih. Beliau mengangguk lalu langsung merengkuh ku selepas Neta merenggangkan pelukannya.
Aku langsung meluk mama, tangis ku pecah. Beberapa kali mama mengusap lembut punggung ku dan mengecup kepalaku. Begitupun aku, aku juga memeluk erat tubuh Mama, menangis di bahu mama seakan mama adalah ibu kandungku.
"Alhamdulillah." Kata mama sambil mengusap bekas air mataku. Aku memperhatikan mama sebentar, beliau terlihat cantik kulitnya bersih mata beliau begitu indah, senyaman mata ibu yang dulu sering membuatku rindu.
Ketika aku menatap mata Mama, mama malah menunduk, mencium tanganku. Mama nggak berhenti menangis, membuatku mengerutkan kening. Sepertinya tangis mama bukan karena tangis bahagia, aku masih bisa membedakan antara menangis bahagia dengan menangis sedih. Lalu apa yang membuat mama sedih?
"Ma?" Panggilku sembari mencoba menegakkan tubuh Mama. Mama tersenyum menatapku sambil mengelus puncak rambutku lembut.
Seketika aku teringat kepada Awan. Aku kembali melihat sekitar, dua orang laki-laki tadi memperhatikanku dan tersenyum kearahku, aku tak membalasnya karena aku tahu ada gejanggalan disini.
"Awan....." Aku memperhatikan sekitar. "Dimana?" Lanjut ku.
Mataku berhenti pada Neta yang menunduk, dia tak menatapku padahal aku sangat yakin, jika dia bisa merasakan tatapanku yang jatuh kearahnya. Ku tolehkan kembali kepalaku ke arah mama yang masih menangis.
"Mama?" Tanyaku.
Mama mengangkat kepala, berniat menjawab namun terjeda saat salah satu laki-laki menyahuti perkataan ku. "Aku Awan." Katanya. Tubuhnya tinggi, kulitnya bersih pun sorot matanya teduh. Namun firasatku berkata kalau dia bukan Awan.
Aku menggeleng, menolak jawaban konyol laki-laki itu lalu pandanganku kembali ke arah mama. "Mama, Awan dimana?"
"Aku Awan Ta, ini aku." Kata laki-laki itu lagi sembari mendekat ke arahku.
Namun firasatku memang benar, dia bukan Awan. Awan tak pernah memanggilku dengan sebutan Ta. Dia selalu memanggilku dengan sebutan La. Lala. Lala nya Awan, hanya Awan dan laki-laki itu bukan Awan.
"Kamu bukan Awan." Tolakku sembari menukikkan alisku tajam menatap ke arahnya.
"Awan dimana ma?" Tanyaku pada mama.
Bukanya menjawab, mama malah menangis sembari memelukku. Lama, cukup lama hingga aku semakin merasa bingung. Ada apa ini sebenarnya.
Mama mengusap punggungku lalu berkata. "Ikhlasin Awan ya nak. "Kata beliau di tengah tangisnya.
Aku tersentak, ku renggang kan pelukan mama dan ku tatap mata mama, mata beliau memerah pun membengkak, sepertinya beliau sudah lama menangis.
"Kenapa? Kenapa Atala harus ikhlasin Awan? Memang Awan dimana?" Tanyaku sembari menormalkan detak jantung.
Mama menangis, tapi tolong untuk saat ini yang ku butuh jawaban bukan tangisan. Mama menatapku, lama, lalu kemudian bersuara. "Awan sudah di panggil lebih dulu sama Tuhan."
Aku mengerjap. Lalu tersenyum, sudah seperti orang linglung. Hatiku rasanya mati rasa, otakku seperti tak berfikir dengan normal pun bibirku yang entah kenapa reflek tersenyum.
"Mama bohong, mama bohong karena Awan mau ngasih aku kejutan kan, iya kan ma." Kataku sembari tersenyum melihat mama sambil menggoyangkan bahu mama.
Bukanya menjelaskan dan membuatku tenang atas kejutan ini, mama malah semakin menangis membuatku tak kuasa menahan diri untuk tak beranjak dari ranjang dan mencari Awan.
Aku tau mama lagi bercanda saat ini.
Ketika aku melepas infus yang melekat di tangan, mama langsung menegakkan kepala beliau dan mencegahku. Namun sia-sia, karena aku sudah telanjur melepas selang itu dan membuangnya.
Dadaku rasanya naik turun, tangis ku sudah tak terkendali tapi otakku kembali bekerja dan mengatakan kalau mama hanya bercanda mengatakan itu dan Awan sangat ku yakin saat ini tengah duduk di kursi depan menungguku menemuinya.
Aku menuruni ranjang, rasanya dingin karena kakiku langsung bersentuhan dengan lantai tanpa alas kaki. Mama menggamit lenganku sembari berkata. "Kamu mau kemana Atala, kamu masih belum boleh kemana-mana." Kata beliau sambil menangis.
Neta dan kedua laki-laki itu juga ikut menghentikan langkahku, tapi aku berontak. Yang ku inginkan sekarang Awan. Pasti laki-laki itu sedang menungguku kan diluar.
"Aku mau nemuin Awan." Teriakku saat semua tengah mencoba menghentikanku.
"Istighfar Atala, Awan sudah meninggal!" Ujar Neta, aku menatapnya penuh emosi. Kenapa semua orang senang bercanda tanpa berfikir sebabnya dahulu?
"Jaga omongan kamu Net, Awan masih hidup. Aku tau kalian cuma bercanda." Tolakku sambil kembali menghempaskan tangan mereka, namun sia-sia.
"Awan!" Teriakku memanggil nama Awan. Otot-otot leherku rasanya kaku sangking kerasnya aku berteriak.
"Awan! Aku tahu kamu di luar kan?! Awan!" Teriakku lagi. Semua orang memegang lenganku. Semua berusaha untuk tetap menghentikan ku.
Selang beberapa menit dokter datang, dan aku tahu apa yang bakal di lakukan dokter itu. Dia akan membiusku karena berfikir aku stress mendadak. Padahal menurutku yang stress mereka semua, mereka bercanda tanpa menakarnya dulu. Mana mungkin Awan akan meninggalkanku, dia sudah berjanji untuk tak meninggalkanku kemarin lusa, tepat dimana kami sedang asik berjalan-jalan.
"Awan!" Aku kembali teriak, dokter itu sudah memegang jarum suntik dan siap menancapkannya di lenganku, namun aku menggeleng, aku singkirkan suntik itu, dan berontak sejadi-jadinya.
Aku menggerakkan tubuhku, mama sampai kewalahan atas ulahku, pun Neta dan kedua laki-laki itu. Tapi aku tak perduli, ketika tangan mereka berhasil ku singkirkan, aku segera berlari ke arah pintu kamar rawat, membukanya dengan paksa sebelum akhirnya aku tertunduk lesu sebab dokter berhasil meloloskan jarum suntiknya di lenganku.
Jangan lupa vote ya.
Author kemarin pagi
-Inda
KAMU SEDANG MEMBACA
Blind
Teen FictionAku nggak butuh mata, jika itu hanya mengambil salah satu nyawa. _Atala Ulfiana. Written by IndaPurna 28 November 2019 End 16 Maret 2020