Epilog

127 25 16
                                    

Aku menatapnya dengan mata berair. Sudah tak terhitung lagi dengan semua kejutan yang Awan berikan padaku. Aku ingin marah, aku ingin memukulnya aku ingin membuatnya kapok atas ulahnya yang mengerjaiku hingga sejauh ini.

Bagaimana bisa ia membuat ku akhir-akhir ini menjadi orang linglung, membuatku menangis dan berhasil membuatku jatuh dalam bercandanya yang tak ada lucunya sama sekali.

Sepulang kontrol, mama mengajakku untuk mengunjunginya. Banyak yang mau ku ceritakan padanya, jadi aku mengiyakan ajakan mama. Namun, selama duduk di antara rerumputan hijau ini, aku malah tak bisa mengeluarkan kata-kata apapun selain menatap pusara Awan.

Aku menaburkan bunga mawar yang sudah di rangkai mama di rumah tadi di atas makam Awan, dalam hidupku aku tak pernah menyangka jika takdirku seburuk ini. Setelah ibu pergi dan aku buta, Tuhan masih mengijinkanku bahagia dengan kehadiran Awan dalam hidupku. Namun ketika Tuhan menambah kebahagiaan dalam hidupku karena aku di beri kesempatan melihat dunia justru Awan pergi.

Semua seakan berputar, jika aku sedang berada di atas, seolah aku juga harus merasakan posisi di bawah bagaimanapun caranya.

Kurasakan usapan mama berganti pelukan di samping tubuhku, dari tadi beliau tak berhenti menguatkan ku. Padahal aku tau yang lebih merasa kehilangan disini sebenarnya adalah mama. Dan semua itu gara-gara aku.

Jika aku tak datang dalam hidup Awan, aku tak akan membuatnya mendodorkan matanya untukku, dan aku tak akan membuatnya menemui Tuhan lebih dulu seperti ini.

Mama tiba-tiba menyerahkan secarik kertas padaku lalu berkata. "Ini dari Awan, sebelum dia menjalani operasi dia tulis ini buat kamu."

Aku menerimanya, ada gambar love di barisan atas sendiri lalu dibawahnya tertulis namaku dan nama Awan.

"Aku nggak pernah nyangka La, ternyata scenario Tuhan memang semenyakitkan ini. Aku nggak pernah tau jika mata kamu buta karena ulah keluarga aku. Aku nggak pernah tau ternyata gadis yang aku cintai sepenuh hati adalah orang yang ku sakiti dulunya. Dan aku juga nggak pernah tau, jika keluargaku yang membuat ibu kamu meninggal.. hey, jangan nangis, aku nulis ini cuma mau kamu tahu satu hal bukan buat bikin kamu nangis."

Aku tersenyum membaca kalimat terakhirnya namun air mataku juga tak berhenti menetes, sebelum kemudian aku melanjutkan kalimat yang di tulis Awan berikutnya.

"Udah? Udah nggak nangis kan?"

Aku menggeleng, seolah memang sosok nyata Awan yang sedang mengajakku bicara saat ini.

"Sepulang sekolah sore itu, aku baru tahu semuanya. Bukan cuma aku tapi mama juga tau, hari, tanggal juga bulan yang sama saat kamu cerita sama mama waktu itu, membuatku seolah tertampar kenyataan. Aku nggak pernah nyangka ternyata mobil bagus yang kamu maksud adalah mobil papa aku. Hahaha, lucu kan. Selucu itu La takdir Tuhan menyatukan kita."

"Dan mulai dari pengakuan kamu waktu itu, aku nggak bisa ngendaliin rasa bersalah aku, aku pergi ke rumah papa buat minta papa tanggung jawab, tapi papa nggak mau. Dia nggak mau masuk penjara dan mengakui semuanya. Karena itulah tiap malam aku nangis kayak perawan di kamar. Sampai akhirnya aku punya niatan donorin mata buat kamu, meski mama awalnya nggak setuju. Tapi setelah aku yakinin mama bahwa aku akan baik-baik saja, mama mengijinkanku."

"Aku begitu yakin La, selesai operasi pasti aku masih bisa jaga kamu meski mataku buta, tapi nggak tau jika takdir berkata lain, lalu akhirnya aku akan mati dan harus buat kamu nangis kejer kayak bayi gini, hahaha maafin aku ya sayang."

Aku tarik nafas perlahan, sebelum kemudian melanjutkan membaca kalimat Awan selanjutnya.

"Seenggaknya aku masih bisa selalu sama kamu, kalau kamu kangen liat aja aku di cermin lewat mata kamu, di situ ada aku. Dan di hati aku masih ada kamu."

Aku mencium kertas itu selesai membaca tulisan Awan. Banyak luka yang tertanam di hati aku, semua kenangan Awan masih terkam jelas di hati aku. Bahkan tiap Awan memelukku dan mencium pipiku tiba-tiba, masih terekam jelas di otaku.

Selang beberapa menit mama mengajakku untuk pulang, sebelum benar-benar pergi aku menyempatkan menatap pusara Awan sebentar dan setelah itu aku benar-benar meninggalkan Awan sendiri di tumpukan tanah yang menjadi tempat istirahat terkahirnya sekarang.

Mama memelukku,beliau mencoba memberiku semangat di tiap langkah kami, dan sewaktu mau keluar dari area pemakaman ada ayah yang berdiri sambil menatapku dari jarak yang lumayan.

Ayah tersenyum, namun aku enggan membalas senyumannya. Aku sudah lebih dari terluka karena ulah ayah.

"Siapa nak?" Tanya mama ketika aku berhenti tiba-tiba.

"Ayah." Mama kemudian menatapku.

"Nggak mau di temui dulu?" Tanya mama

Aku menggeleng, sudah cukup puas aku merasakan penyiksaan ayah selama ini. Tanpa basa-basi apalagi menjabat tangan ayah. Aku langsung mengajak mama pergi, aku memeluk lengan mama dan segera masuk ke dalam taxi yang sengaja di suruh mama untuk menunggu kami selama kami masuk area pemakaman tadi.

~End~

Makasih semuanya, yang udah nyempetin baca dan me gikuti alur ceritanya Atala sama Awan. Rasanya benar-benar nggak nyangka bisa nyelesain cerita blind secepat ini, tapi, meski cerita blind udah tamat, aku dan kalian nggak akan pernah tamat kok hehehe. Aku pasti bakalan merindukan pembaca seperti kalian, meski yang baca cuma itu-itu aja, tapi kalian lah yang udah bisa bikin aku tiap bikin part jadi semangat 45.

Pokoknya kalian the best deh, aku bakalan rindu kalian dan bakalan rindu Atala, khususnya Awan. Semoga aja dia tenang disana ya.

Eh tunggu, aku juga mau minta maaf kalau ada penulisan kata yang salah atau kesannya ada yang kurang baik di baca tolong jangan di contoh, yang baik-baik aja ya yang di contoh, contohnya kayak pertemuan Atala sama Awan.

Allah mengajarkan kita untuk tidak terlalu berharap dengan manusia, Allah itu pencemburu, jika Allah sudah cemburu karena kita lebih mencintai makhluknya Allah pasti bakalan marah.

Udah gitu aja ya..

Salam hangat dari author kece badai wkwkwk
-Indapurna

BlindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang