[020]

1.6K 194 5
                                    

Sesampainya di Busan, banyak sekali orang yang mengerumuni area rumahku. Mereka meminta foto bersama dan juga tanda tangan. Tapi aku menolak mereka dengan halus, karena tujuanku pulang adalah untuk melihat Ibuku.

Tapi permasalahannya, Ibuku sudah dimakamkan. Aku terlambat. Bodohnya kau, Jeon Jungkook. Bahkan disaat terakhir kalinya, kau tidak dapat melihat Ibumu sendiri. Betapa menyedihkannya itu.

Ayah dan Junghyun Hyung memelukku erat sembari mengatakan, "maaf, Jungkook-ah. Kami tidak bisa menjaga Ibu."

Aku bilang, "andai aku berada disini. Andai aku tidak mengikuti ajang sayembara itu, pasti Ibu tidak akan pernah terluka. Kehidupan keluarga kita selalu damai tanpa adanya berita ataupun bencana yang menerpa. Keluarga kita selalu bahagia dan menertawai kekurangan bersama-sama. Tapi lihatlah sekarang apa jadinya setelah aku mengikuti ajang sayembara itu. Ibu pergi, Hyung. Bukan hanya sebentar, tapi selama-lamanya. Aku tidak akan pernah bisa melihat tawa Ibu lagi dan Ibu tidak akan pernah bisa membuat masakan favoritku lagi. Ibu tidak akan pernah melihatmu menikah dan memiliki anak, Hyung. Begitu juga denganku. Ibu tidak akan pernah melihat aku menikah dan memiliki anak."

Junghyun Hyung menghela napas. Ia membawaku kedalam pelukannya. "Berhenti menyalahkan dirimu sendiri, Jeon Jungkook." Ujarnya berusaha menenangkanku, meski sebenarnya tidak berhasil. "Dengarkan aku," ia membawaku untuk duduk di ruang keluarga. "Tuhan telah menggariskan takdir sesuai kehendak-Nya. Jika memang Dia mengatakan bahwa sekarang adalah waktunya untuk Ibu pergi, maka Ibu harus pergi menghadap-Nya. Kau tidak bisa mengubah takdir. Segala sesuatu sudah direncanakan terlebih dahulu, dan kau sebagai manusia hanya perlu menjalaninya saja."

"Tapi Hyung—"

"Aku sudah baca surat darimu. Kau mencintai si putri nomor satu di Korea itu, kan? Kau mencintai Putri Sifra?"

Aku menghela napas, namun tidak kuberikan jawabannya. Junghyun Hyung tersenyum, sangat tipis. "Takdir itu adalah sesuatu yang harus kau terima, bukan kau sesali, Jeon Jungkook. Sekarang, aku akan bertanya padamu. Apakah kau menyesal mengikuti ajang sayembara itu?"

"Tidak."

"Kau menyukai wanita itu?"

"Ya. Sangat."

Junghyun Hyung mengusap bahuku. "Kalau begitu keadaannya sekarang, berhenti menyalahkan dirimu. Mungkin memang tidak sepantasnya Ibu untuk mati dengan cara yang tragis seperti itu. Namun, kau harus melupakan hal itu. Lupakan kesedihanmu. Aku tahu ini sulit. Tapi kau juga harus bahagia, Jungkook. Ibu memang sudah tidak ada lagi di dunia, tapi bukan berarti Ibu tidak bisa melihatmu dari atas sana. Percayalah bahwa Ibu akan sedih jika kau terus menyalahi dirimu sendiri."

"Hyung—"

"Ibu berada bersama kita. Ibu tetap ada dihatimu, dihatiku dan di hati Ayah. Selamanya."

-

Aku mengingkari janjiku pada Sifra.

Aku tidak kembali ke istana. Sudah seminggu lamanya aku disini dan aku sebenarnya merasa bersalah. Aku tidak memberikan kabar apapun kepadanya. Tapi kurasa, mungkin Sifra akan mengerti bahwa aku masih membutuhkan waktu untuk menenangkan diriku.

Jika memang dia percaya padaku, maka dia akan menungguku hingga aku kembali.

Aku membantu Junghyun Hyung dan Ayah untuk berjualan buah. Setiap hari, buahnya selalu laku hanya dalam beberapa menit saja. Mungkin karena mereka tahu bahwa aku bagian dari ajang sayembara kerajaan. Pemasukan keluargaku bertambah, namun tidak ada Ibu disini yang bisa mengatur keuangan.

Ayah dan Junghyun Hyung selalu bersikap santai. Bahkan aku sempat berpikir bahwa mereka tidak pernah menunjukkan kesedihan mereka dihadapanku. Semenjak kepergian Ibu, Ayah lebih sering menyendiri dan Junghyun Hyung juga menyibukkan diri untuk berjualan buah, membereskan rumah, atau bahkan sekadar keluar untuk mencari udara segar.

Mereka selalu bersikap kuat dihadapanku. Aku berharap aku bisa seperti mereka juga. Ayah dan kakakku itu—mereka berdua adalah manusia terhebat yang pernah kutemui. Aku beruntung sekali memiliki mereka.

Dan juga Ibu . . . astaga, aku rindu sekali padanya. Aku ingat Ibu terkadang memarahiku jika aku bangun terlambat, Ibu juga tertawa jika aku membuat ulah—segala sesuatu yang aku lakukan selalu membuatku teringat padanya.

Ibuku terhebat, terima kasih atas segalanya yang telah kau lakukan dan kau berikan untukku, untuk Junghyun Hyung dan untuk Ayah. Semoga Tuhan memberikan tempat terbaik untukmu diatas sana. Aku mencintaimu, Ibu.

Aku pergi kekamarku. Di atas meja belajarku, terdapat gantungan kunci. Aku mengambilnya dan aku menggenggamnya erat. Aku teringat pada Sifra. Astaga, bajingan sekali aku ini karena telah meninggalkan istana selama ini dan tidak pernah memberikan kabar apapun padanya.

Mungkin Sifra sudah menjatuhkan pilihannya bahwa dia ingin bersama dengan Kim Taehyung. Aku harus melepasnya pergi, bukan?

Pintu kamarku di buka dan Junghyun Hyung berdiri disana. Aku berdecak, "seharusnya kau mengetuk pintu terlebih dahulu, Hyung. Bagaimana jika aku sedang telanjang?"

"Kau tidak telanjang."

"Tetap saja—"

"Para staf kerajaan berada di luar rumah. Mereka ingin kau untuk menemui mereka,"

Tunggu . . . "Apa?"

"Keluar, bodoh!"

Aku bangkit dan segera keluar. Benar saja. Sekitar belasan staf bersama dengan mobil khusus kerajaan mendatangi rumahku. Mereka menunduk ketika mereka melihatku. Aku segera bertanya, "ya, ada apa?"

"Anda harus segera kembali ke istana, Tuan Jeon Jungkook."

"Ada apa? Terjadi sesuatu pada Sifra?"

Salah satu dari mereka menjawab, "saya tidak tahu, tuan. Saya hanya diperintahkan untuk membawa tuan kembali ke istana karena ini perintah langsung dari Putri Sifra."

"Tunggu—apa?"

"Kau ingin kembali atau tidak?" Aku menoleh pada sumber suara. Ternyata Komandan Im Hyera juga ikut kemari. "Kemas barang-barangmu sekarang karena kita tidak memiliki banyak waktu."

"Ada apa ini?"

"Putri Sifra menginginkan kau untuk kembali ke istana segera."

NOTRE DAMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang