[003]

2.4K 261 25
                                    

Setelah mengetahui bahwa ternyata aku lolos seleksi, banyak sekali pesan masuk. Semuanya berupa surel dari pihak Kerajaan yang menginginkanku untuk segera pergi ke Seoul. Ibu senang sekali dan bahkan begitu bersemangat mengemas pakaian dan barang-barangku yang sekiranya akan kuperlukan selama mengikuti ajang pencarian calon suami untuk sang Putri.

Kewajiban sebagai peserta sayembara adalah harus tinggal di istana selama masih diinginkan oleh sang Putri. Jika sang Putri sudah tidak ingin peserta berada di istana, itu berarti, peserta gagal untuk lolos ke tahap-tahap berikutnya, dan tidak ada kesempatan untuk mengikuti ajang sayembaranya lagi.

Oke, aku harus meninggalkan keluargaku dan tinggal di istana. Tidak tahu sampai kapan. Mungkin sampai sang Putri pada akhirnya menendangku keluar dari istana karena tidak berguna. Mungkin. Kuharap hal itu tidak terjadi.

"Jungkook-ah, ini satu-satunya peluang untukmu. Gunakan dengan sebaik-baiknya. Tunjukkan kehebatanmu dihadapan sang Putri atau Raja dan Ratu. Buat mereka terkesan."

Aku mengangguk. "Iya."

"Astaga, Ibu tidak percaya bahwa anak Ibu akan pergi ke istana dan tinggal didalamnya. Bayangkan saja betapa luas dan besarnya istana itu."

"Ibu, kupikir, aku tidak akan lama berada disana."

Ibu mengerutkan keningnya. "Kenapa begitu?"

"Hanya mengantisipasi saja. Takutnya, sang Putri tidak akan menyukaiku, lalu dia akan menendangku keluar dari istana. Bayangkan betapa menyedihkannya itu, dan juga, betapa malunya aku jika hal itu terjadi.

Ibu memukul bisepku. "Jangan berkata seperti itu. Ingat pesan Ibu, bahwa; keberuntungan seseorang itu tidak akan pernah ada yang tahu. Jadi, jangan berkecil hati. Kau harus tunjukkan kehebatanmu pada dunia luar."

"Aku hebat dalam hal apa, Bu? Aku hanya bisa bekerja paruh waktu. Tidak ada kehebatan sama sekali di dalam diriku."

"Kau hebat. Bagaimanapun situasi dan kondisi, seberapa sulitnya hidupmu, kau tetap anak Ibu yang paling hebat. Kau tampan sekali, suaramu merdu, kau gigih dalam bekerja, kau selalu bersemangat, tidak pernah mengeluh atau pamrih dalam hal apapun. Itu kehebatanmu. Jarang sekali orang-orang memiliki kehebatan seperti itu."

Ibu selalu membanggakanku dalam hal apapun itu. Tentu, karena aku adalah anaknya.

Sebelum berangkat ke Seoul, aku berpamitan kepada Ayah dan Junghyun Hyung. Keduanya memelukku erat sembari mengatakan, "jaga kesehatanmu, Jungkook-ah. Tunjukkan kehebatanmu, dan tunjukkan pada dunia luar bahwa kau bisa. Tidak masalah jika di akhir nanti kau tidak menang. Yang terpenting, kau berani dalam menghadapi segalanya—semua konsekuensi dan mempertanggungjawabkan apa yang sudah kau pilih."

"Iya."

Ayah dan Junghyun Hyung melepas pelukan mereka. Kemudian, Ayah merangkul bahuku dan beliau menyodorkan beberapa lembar uang. "Ini, untuk keperluanmu, jika kau membutuhkan sesuatu."

Aku dengan cepat menggeleng, "tidak perlu, Ayah. Aku masih mempunyai tabungan sendiri. Tidak perlu khawatir."

"Ambil, Jungkook-ah."

Karena permintaan langsung dari Ayah, maka akupun mengambil uang dari Ayah dan memasukkannya ke dalam tasku. Ayah berkata, "memang tidak banyak yang bisa Ayah berikan. Tapi setidaknya, gunakan uang itu untuk hal yang berguna. Atau, simpan saja jika kau merasa uangnya tidak perlu di pakai. Belajar hemat, oke?"

"Oke."

"Hati-hati di jalan. Kami akan merindukanmu, Jungkook-ah."

Berat sekali untuk meninggalkan keluargaku seperti ini. Tapi, mereka sudah mempercayaiku untuk mengikuti ajang sayembara ini. Aku tidak boleh mengecewakan mereka, terutama Ibu.

NOTRE DAMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang