•13•

4.8K 399 6
                                    

Kebahagiaan itu seperti hujan, ia membasahi setiap orang tanpa pernah memilih.

*****

Aku terbangun saat jam wekerku berbunyi dengan gembiranya, aku yang masih setengah sadar pun meraba nakas yang tak jauh dari ranjang tidurku. Jam menunjukkan pukul setengah Delapan Pagi, dengan keadaan setengah sadar aku bangkit dari kasur tercintaku itu dan menuju kamar mandi untuk sekedar cuci muka dan sikat gigi.

Selesai dari kamar mandi, aku merapikan kasurku yang amat berantakan-mungkin tidurku ekstrim kali ya. Tengah asyik merapikan kamar tidurku, handphone-ku yang berada di nakas menyala dengan nada notifikasi Line. Ternyata itu Kak Vano.

Oh ya, tak terasa hubunganku dengan Kak Vano sudah berjalan dua minggu satu hari. Setengah bulan.

Aku mengecek Line Kak Vano, seperti biasa Kak Vano selalu mengirim pesan selamat pagi dengan lebaynya. Ew..

'Kak Vano: Good morning Denan sayang, have a nice day:*. Udah bangun kan?'

Aku menatap geli handphoneku itu, Kak Vano yang pertama kali aku lihat-disaat dewasa, sangat ganteng, sopan, ramah, dan terlihat disegani. Tetapi setelah kami memiliki hubungan, sifat berlebihannya itu kadang membuatku heran dan tertawa.

Ya, mungkin itu salah satu cara dari Kak Vano agar membuatku nyaman dan bahagia. Uh, aku bahkan tertular alay seperti Kak Vano.

'Aku: Good morning too. Ini lagi beresin kamar.'

Aku meletakkan handphoneku diatas kasur dan kembali membereskan kasur. Tetapi bunyi notifikasi handphone membuatku memutarkan bola mata. Astaga, Kak Vano cepat sekali balesnya!

'Kak Vano: Nanti kerumah Kakak yuk, belum pernah 'kan? Jam set 10 Kakak jemput. See u~'

Ini yang aku juga tidak suka dari Kak Vano, apapun yang ia perintah itu mutlak. Tidak ada penolakan. Aku bahkan menolak secara tegas, tetapi yang terjadi Kak Vano pundung ke aku. Bukankah itu terbalik?

Tapi.. tak apa lah! Aku juga tidak ada kegiatan hari ini, lebih baik menghabiskan waktu bersama pacar. Hehe..

'Aku: Oke, see u~'

*****

Setelah selesai mandi, menggunakan baju yang jadi favoritku, dan memilih parfume yang aku sukai, aku sudah siap untuk pergi bersama Kak Vano. Tetapi sebelumnya aku mau bercermin kembali, memastikan bahwa penampilanku sangat oke.

Oke! Semua oke.

"Adek? Mau kemana?"

"Astaga, ya Tuhan! Aduh Bunda ngagetin aja!" Aku yang sedang fokus bercermin dibuat kaget karena Bunda masuk kekamarku tanpa mengetuk pintu. Ya ampun, aku sepertinya ketularan Kiara deh, suka kaget berlebihan.

"Lho? Bunda cuma nanya doang, kamu aja terlalu fokus ngaca. Aduh manis banget anak Bunda." Bunda menghampiriku dan menatapku lewat pantulan cermin.

"Anak Bunda dan Ayah gitu lho! Aku mau pergi nih, nanti sama Kak Vano. Mau main kerumahnya."

"Ehemmm, beda ya yang udah pacaran. Hari minggunya buat jalan, bukannya bantu Bunda ngurus rumah." Sindir Bunda dengan nada dibuat main-main. Aku yang disindir seperti itu hanya nyengir, tidak tahu mau berkata apa.

Bunda memelukku dari samping, menatap dirinya dan diriku didepan cermin. Bunda tersenyum dan memelukku dengan erat, tidak biasanya Bunda seperti ini.

"Anak Bunda udah gede aja, yah. Udah pinter, baik, ganteng, manis, lucu, imut lagi. Perasaan baru kemaren deh Bunda lihat kamu nangis gara-gara permennya jatoh ke lantai." Bunda terkekeh geli saat menceritakan masa laluku-yang memang itu terjadi saat aku berusia 5 tahun.

"-Kamu dulu lucu, apa-apa mintanya ke Bunda atau ke Ayah. Itu Ayah juga manjain kamu terus, nangis dikit aja Ayah udah panik. Sampe sekarang juga manjanya gak ilang-ilang."

"Ish, Bunda! Itu 'kan dulu." Aku cemberut, tetapi Bunda hanya terkekeh pelan.

"Sekarang, kamu udah gede. Udah pacaran lagi. Ya, walaupun kamu sama.. cowok." Ujar Bunda terdengar lirih dibagian akhir. Aku yang tahu maksud Bunda hanya bisa diam, dan membalas pelukan Bunda.

"Bunda.. gimana perasaan Bunda sekarang? Saat tahu kalo aku pacaran lagi sama.. cowok?" Tanyaku dengan hati-hati. Bunda diam sejenak, tetapi senyum masih terbit diwajahnya yang cantik itu.

"Kalo dibilang gak kaget, pasti bohong banget. Sebagai orang tua kami hanya mau anaknya menjadi lebih baik, dan selalu bahagia dengan apa yang ia putuskan. Kecewa itu pasti, tapi Bunda lebih kecewa kalo lihat kamu sedih karena terpaksa ngikutin kemauan Bunda-yang jelas bertolak belakang dengan kemauan kamu." Ujar Bunda.

"-Misalkan, kalo Bunda nyuruh kamu jauhin Vano hanya karena kalian berjenis kelamin sama, apa kamu mau menyanggupi keinginan Bunda?"

Aku berpikir sejenak, tentu aku tidak mau hal itu terjadi. Tetapi jika itu adalah keinginann Bunda, makan aku tidak bisa memilih-selain kata menolak. Karena aku juga tidak mau egois hanya karena cinta. Bunda dan Ayah-lah lebih dari itu semua, bahkan melebihi apa yang aku punya.

"Ya.. pasti aku nuruti kemauan Bunda." Jawabku pelan, bahkan seperti ragu.

"Dan itu terpaksa bukan?"

Aku diam kembali memikirkan ucapan Bunda. Aku dengan kaku menggeleng tanda tidak.

"Maka dari itu Bunda mau lihat kamu bahagia, apapun yang terjadi. Suatu yang dipaksa itu tak berujung indah."

Aku tak tahu harus berkata apa, aku tentu ingin bahagia. Tetapi dengan hubunganku ini, pasti ada satu pihak yang tersakiti. Dan aku bahkan bingung untuk memilih. Katakan aku egois, kenyataaannya memang seperti itu.

Ting..Tong

"Nah, kayaknya Vano udah dateng. Gih turun." Ujar Bunda yang mencium pipi kanan dan kiriku bergantian.

Aku menarik nafas dan menetralkan perasaanku yang tercampur aduk. Perkataan Bunda membuatku galau.

Aku menuruni tangga, ternyata Kak Vano sudah berada di ruang tamu bersama Bunda yang sudah turun terlebih dahulu. Kak Vano hari ini terlihat sangat-sangat ganteng. Sweater dongker basic dengan kemeja untuk bagian dalamannnya, dan dipadukan celana Chino berwarna hitam. Jadi tersepona..

Eh.. terpesona.

"Nih, anak Bunda udah ganteng dan manis belom?" Tanya Bunda kepada Kak Vano yang tersenyum kearahku.

"Ish, apaan sih Bunda." Aku menggerutu saat Bunda berkata seperti itu.

"Gula aja kalah manisnya, Tan. Ya sebelas duabelas sama Bundanya lah."

"Ah, bisa aja kamu Vano." Bunda yang digombalin oleh Kak Vano hanya tersenyum malu-malu mau. Hm, dasar Bunda.

"Kalo gitu kami pergi dulu ya, Tan. Vano pinjem dulu anaknya." Pamit Kak Vano kepada Kak Bunda.

Pinjam? Barang kali ah..

"Iya, hati-hati dijalan ya.."

Aku dan Kak Vano menuju mobil yang terparkir rapi depan rumah. Mobil pribadi milik Kak Vano. Kak Vano dengan sikap manisnya membukakan pintu mobil untukku.

"Ish, aku juga bisa kali bukanya."

"Ish, Denan gak bisa senengin Kakak yang lagi romantis nih.." Ujar Kak Vano dengan wajah cemberut.

Kak Vano berbalik dan duduk dikursi pengemudi.

"Hari ini, kerumah Kakak dulu ya. Kakak ada sesuatu." Ujar Kak Vano dengan senyum yang aku artikan... mesum, mungkin? Ditambah Kak Vano mengedipkan matanya membuat pikiranku yang tidak-tidak.

"Jangan mesum!" Peringatku.

"Lho? Siapa mau mesum? Nah, kamu yang mesum ternyata. Ya udah kalo maunya kamu, Kakak sanggupin kok. Kakak juga mau. Hehe.."

"DASAR MESUM!"

TBC...

Meet Him Again [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang