TIGA PULUH TUJUH

1.6K 60 3
                                    

"Kak Ferdian!" Aliya berlari mengejar seniornya yang sedang sibuk membawa beberapa buku dari kelas untuk diserahkan ke ruang guru. Gadis itu kini mensejajarkan langkahnya dengan Ferdian

"Ya?"

"Itu, yang tadi. Tadi yang kakak lihat, aku lari keliling lapangan cuma masalah kecil doang. Lagian bukan aku yang mulai duluan, semua karena Ziya yang selalu iri sama aku. Jadi kakak jangan mikir yang aneh-aneh yaa, Aliya anak baik kok" jelasnya panjang lebar pada pria yang ditaksirnya

"Oh, aku juga udah tahu kok dari temen-temen kamu. Lain kali jangan diulangi lagi ya Al." ucap Ferdian, Aliya agak tersentak mendengarkan kalimat akhir dari seniornya itu. Apa mungkin karena Ferdian tidak suka dengan sikap Aliya tadi?

"Kalau gitu aku duluan ya, harus cepet-cepet nanti Pak Ilham bisa marah kalau bukunya enggak sampai di kantor" Ferdian meninggalkan Aliya.

"Al gimana?" tiba-tiba Shafa datang melihat ekspresi lesu dari sahabatnya

"Kapan si Ferdian bakalan nerima gue Fa? Susah bener mau jadi pacarnya"

"Lo udah di tolak berapa kali sih Al? 10? 100 atau 1000 kali, dan elo masih belum sadar sama semua itu?"

"Ihh apaan sih, dia enggak pernah nolak gue. Tapi susah banget, enggak ada celah sedikitpun buat masuk ke hatinya, kalau gini caranya gue bisa jadi bosen ngejer-ngejer dia"

"Yaa, gue sih setuju kalau lo bosen nantinya. Lo bisa cari cowok lain yang nanti bisa buka hatinya buat elo, kayak anak-anak BTS misalnya pada jomblo semua loh"

"Halu lo Fa, H.A.L.U" jelas Aliya, setelah itu menarik paksa Shafa untuk kembali ke kelas mereka.

***

Aliya kembali menemani Raihan untuk menjenguk sang Ayah di rumah sakit. Hal ini menjadi rutinitas barunya, Raihan ingin tahu sudah sejauh mana perkembangan kesehatan Ayahnya. Dengan perasaan canggung, Aliya mengikuti Raihan untuk masuk ke kamar sang Ayah. Om Prasetyo tersenyum pada Aliya, matanya sayu dan terlihat lelah namun ia masih tampak jelas bahwa perempuan yang dibawa oleh Raihan kini adalah teman semasa kecil Raihan. Om Prasetyo mengenali sosok teman kecilnya Raihan, hanya saja tak pernah bisa sedekat ini.

Aliya menyambut telapak tangan Om Prasetyo dan menyalaminya. Aliya duduk di sebelah kasur tempat Om Prasetyo berbaring. Ini untuk pertama kalinya Aliya bisa sedekat itu, Om Prasetyo juga terlihat sangat senang dengan kedatangan Aliya. Bahkan tak segan pula langsung berbincang panjang lebar dengan Aliya, mulai dari masalah pekerjaannya hingga pada cerita kehidupanya, ia memberanikan diri untuk membongkar semua rahasia kehidupannya di masa lalu. Aliya mulai terenyuh, tak semua yang dilakukannya adalah kejahatan bagi Raihan.

Sementara Raihan memang tidak ada di kamar, ia sedang keluar untuk menebus obat Ayahnya di apotik. Kesempatan bagi Aliya untuk mendengarkan semuanya dari Om Prasetyo, setidaknya dengan tahu banyak cerita Aliya bisa membantu Raihan, Aliya bisa meyakinkan Raihan untuk segera berdamai dengan hati nya. Pria itu tak bisa lagi menahan air matanya, merasa sangat bersalah dengan apa yang pernah dilakukannya dulu, ia benar-benar ingin menebus semuanya, dan ia tidak ingin Raihan selalu membencinya.

"Om Pras tenang aja, Aliya pasti bantu membujuk Raihan, sekarang Om Pras jangan sedih lagi, Om harus sembuh dan pasti sembuh. Semangat ya Om" ucap Aliya dengan tulus ia menggenggam tangan Om Prasetyo sembari menguatkan.

"Terima kasih Aliya, Raihan beruntung punya teman seperti kamu" balas Om Prasetyo, ia yakin tak salah untuk menceritakan semua masa lalunya. Aliya anak baik dan teman Raihan yang bisa dipercaya.

The Second Time [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang