"Fathur kok bisa babak belur begini sih?"
Fathur hanya diam tidak berani memberi penjelasan pada Aliya yang membantunya mengobati memar biru diwajah Fathur.
"Fathur jawab dong! Ini ulah siapa!!"
"Bimo sama gengnya"
"Ih memang ada masalah apa?! Masih kecil udah main pukul kayak begini besar nanti mau jadi preman?"
"Enggak Aya. Ini semua ulah mereka, Fathur emosi karena mereka bilang Ayah dan Bunda Fathur itu bakalan pisah"
"Dimana mereka sekarang?"
"Sudah kabur"
"Kalau sampai besok ketemu sama Aya, habis mereka"
"Jangan Aya, bahaya. Kamu perempuan, gap antes berantem sama laki-laki."
"Tapi Fathur, mulut mereka itu tidak bertanggung jawab dan harus diberi pelajaran. Tahu apa mereka tentang hidup kita?"
"Biarin aja, nanti juga kena batunya sendiri."
"Awas aja kalau besok ketemu sama Aya!"
***
Iqbal mendekati kerumunan di kelas Aliya, ia baru saja keluar dari ruang OSIS membereskan beberapa barangnya yang tertinggal setelah acara pensi kemarin. Ia mendapati Aliya dan Raisha yang sedang berkelahi diantara banyak murid yang menyaksikan hal tersebut. Iqbal menarik paksa lengan Aliya untuk memisahkan keduanya. Sementara Raisha merapikan rambutnya setelah sudah acak-acakan karena dijambak kasar oleh Aliya tadi. Suasana mulai hening dengan kedatangan sang ketua OSIS, beberapa dari mereka juga berhamburan pulang karena tak ingin terlibat dalam masalah.
Iqbal menjauhkan Aliya dari Raisha yang tampak masih menyoroti Aliya dengan kejam. Ia belum puas menyiksa Aliya yang berlagak jago di depannya tadi. Kalau sampai masalah ini berkelanjutan, bisa saja dendam dan amarah Raisha pada Aliya tak akan memudar.
"Besok, temui pak Mahmud di ruang BK. Kalau tidak berani sendiri, gue yang temenin" ucap Iqbal dingin pada Raisha. Biarpun Raisha kakak kelasnya, Iqbal tak harus hormat terus menerus. Sementara, setelah ucapan Iqbal tadi Raisha hanya berdecak sebal, ia bersama kedua dayangnya meninggalkan lokasi pertarungan.
"Fa, Ndi, Rei komandokan semuanya suruh bubar dan pulang. Aliya biar gue yang urus" perintah Iqbal
***
Iqbal membawa Aliya ke sebuah cafe es krim dekat sekolah. Ia ingin menenangkan Aliya yang pasti masih kesal dengan hasil pertengkarannya tadi. Aliya hanya diam, tak banyak bicara. Ia hanya menuruti semua yang di perintahkan Iqbal, bahkan untuk pesanan es krim saja ia terima apapun yang dipesankan Iqbal untuknya. Padahal ia biasanya pilih-pilih rasa dulu sebelum memfiksasikan pesanannya.
Iqbal datang membawakan nampan berisikan 2 buah es krim dengan rasa berbeda, rasa vanilla untuk Iqbal dan coklat untuk Aliya. Hanya menebak saja, biasanya kebanyakan perempuan suka rasa coklat. Beruntung Aliya memang punya selera coklat hari ini, sekalian agar mood nya kembali bagus. Iqbal menatap Aliya yang cemberut tanpa senyum sedikitpun, padahal sudah ada dirinya di hadapan Aliya. Pria yang akan terus berusaha untuk menciptakan lengkungan indah pada bibir Aliya setiap harinya.
"Lo gak apa-apa kan Al? pipi lo memar, lo ditampar?" tanya Iqbal memastikan keadaan gadis yang disukainya
"Gak apa-apa Bal, gue aja tadi kurang refleks sama tindakanya Raisha"
"Sorry ya Al, gue telat dateng. Harusnya gue langsung jemput lo ke kelas" Aliya menggeleng menepis perasaan bersalah Iqbal padanya.
"Semua gara-gara apa sih? Gue gak habis pikir kalau lo bisa kena kayak gini. Besok jelasin semua kebenarannya di depan Pak Mahmud, gue yakin lo bukan orang yang salah. Gue selalu di samping lo Al" ucap Iqbal
Seketika hati Aliya menghangat, perhatian yang Iqbal berikan benar-benar menghipnotis dirinya. Aliya jadi semakin bersalah jika terus menggantungkan perasaannya pada Iqbal yang begitu peduli dan pantang menyerah untuk mendapatkan hati Aliya.
"Cuma salah paham Bal, gue juga gak terima kalau harus disebut-sebut sebagai pelakor"
"Pelakor?"
"Iya, katanya gue rebutin Ferdian. Padahal Ferdian sendiri yang udah nolak gue beberapa minggu lalu, lagian buat apa gue harus rebut pacar orang"
"Ferdian nolak elo?"
"Hmmm?" Aliya mengutuk dirinya sendiri, ia sudah kelepasan menceritakan pengalaman tragisnya pada Iqbal
"Ceritanya panjang Bal, gue kelepasan hehe"
"Gue juga ga minta lo buat cerita Al"
"Lo gak marah kan ke gue?" tanya Aliya
"Kenapa gue harus marah?"
"Karena gue pernah naksir Ferdian" jawab Aliya dengan polosnya
"Al, semua orang punya masa lalu yang pastinya ga selalu dirasakan bahagia. Gue gak berhak marah ke elo, mau ke siapapun lo menaruh perasaan suka. Gue juga udah pernah bilang kan, kalau gue gak pernah maksa elo buat jatuh cinta ke gue. Tapi.."
"Tapi apa Bal?"
"Tapi gue enggak akan nyerah, supaya elo bisa jatuh cinta sama gue" ucap Iqbal lalu ia tersenyum manis untuk Aliya, sangat manis. Baginya Iqbal benar-benar orang yang sangat baik, bahkan untuk perihal perasaan seperti ini ia tetap bersedia menunggu Aliya. Iqbal harusnya cari perempuan lain yang mungkin lebih pantas untuk nya, bukannya Aliya yang suka bertengkar terus seperti ini.
"Bal?"
"Hmm? Iya? Lo mau nambah es krimnya?"
"Bukan"
"Terus?"
"Gimana kalau kita coba.." Iqbal merespon dengan ekspresi bingung.
"Kita coba jalanin aja dulu. Hubungan kita." ucap Aliya, ia tahu betul kalau Iqbal yang berhadapannya kini berusaha menutupi rasa malunya. Senyum Iqbal tampak merekah, pernyataan dadakan dari Aliya itu berhasil mengenai hatinya.
"Iya. Kali ini, bukan cuma elo yang berusaha. Gue juga, gue bakal berusaha untuk bisa terus di samping elo, doain gue ya?" goda Aliya, ia berhasil mendapati rona merah di wajah Iqbal saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Second Time [COMPLETED]
أدب المراهقينBenar, aku mengenalinya. Aku mengingat seluruh bentuk lekuk tubuhnya, wajah tampannya, sorotan matanya, bahkan tatanan rambutnya yang selalu menjadi point penting dari setiap penampilannya. Raihansyah Fathureza, pria yang menghabiskan moment semasa...