19

1.8K 42 1
                                    

"Herlin kamu ikut papa aja ya?"

"Mama ngomong apa sih?"

"Mama sama papa mau pisah"

"Terus aku, Jevan, Eric gimana?"

"Jevan kan ikut bude mu yang di Korea, Eric ikut tante mu yang di Inggris"

"Aku?"

"Kamu ikut papa aja ya"

"Terserah mama deh. Aku mau hidup sendiri aja. Gak perlu ribet aku harus ikut siapa? Toh kayaknya mama papa gak mau di ikutin anaknya"

"Tapi?"

"Ma, aku udah gede. Ada Bude sama Tante yang siap nampung aku. Gak kayak mama sama papa yang lempar tanggung jawab"

"Mama gak mau kayak gini"

"Udah, ma. Aku capek dengerin curhatanmu yang panjang. Kalo ada masalah aja langsung nyariin aku. Tapi kalo seneng yang dicariin Jevan sama Eric"

"Mama gak maksud gitu"

"Udahlah, aku udah kecewa, capek, dan sakit hati"

"Tapi~"

"Aku ngerti mama bahagia sama orang lain. Bukan keluarga mama"

Plak.

"Jaga bicaramu"

"Emang benerkan? Dikira aku diam itu setuju mama ngerusak hubungan keluarga? Gak ma. Aku diem soalnya gak mau papa marah. Aku diem buat jaga keluarga supaya utuh. Aku diem soalnya aku gak terlalu penting di keluarga"

Plak.

Kedua kalinya tangan mamaku mendarat di pipiku.

"Mama mau tampar aku berapa kali pun, gak bisa mengubah kenyataannya"

"aku.kecewa"

Dan hari itu, hari dimana gue muak dengan drama dalam keluargaku.

£

"Murung aja"

Itu Bang Markonah.

"Iya, bang. Capek"

"Capek?"

"Capek sama drama kehidupan ini"

"Duh, bahasamu berat banget sih"

Gue cuma senyum kecil.

"Mau cari es krim gak?"

"Kok cari?"

"Beli dah beli"

"Di beliin abang, gua mau. Kalo beli sendiri ogak deh"

"Dih, dasar"

"Ya, gak?"

"Yaudah ayo!"

"Magnum ye?" tawarku.

"Mehong tuh"

"Sour sally dah kalo gitu"

"Magnum aja"

Labil deh Bang Markonah

Seenggaknya mood gue naik lagi karna es krim gratis.

£

Sampe apartemen, gue cerita semuanya ke Rendi. Karna tadi dia gak sengaja denger gue ngomel di telpon ke my twin.

"Lain kali cerita ke gue aja gak apa"

Gue cuma ngangguk. Seenggaknya dia mencoba mengerti.

Dia sekilas mencium keningku.

"Gue tau lo pasti bisa ngelewatin semua ini"

"Thanks"

Dia tau bahwa hubungan keluarga gue gak sebaik yang gue tampilkan di depan umum.

"Makan yok!" ajak Rendi "Tadi gue beli sup mala"

"Gak mau pedes"

"Gak serius"

"Boong"

"Pedesan ngomongan gue. Percaya deh"

"Ye, itu mah emang lo aja suka ngegas"

Pada akhirnya Rendi sendiri yang makan sup mala. Gue makan telor mata sapi.

"Gue tanya lo harus jawab jujur!" Rendi mukanya serius.

Gue cuma mengangguk.

"Lo ada main belakang sama Jae?"

Demi apa ini Rendi kok tanya gini?

Gue menghentikan kegiatan makan.

"Kalo dari respon lo kayaknya beneran"

"Ren--"

"Gak apa. Gue nanya doang kok"

"Lo suka eh, lo cinta sama Jae?"

"Ren--"

"Ok, semua terjawab sama tatapanmu"

"Dah, lanjut makan aja"

"Rendi, gue udah gak sama Jae. Gue maunya lo yang ngisi hati gue ren"

Dia cuma senyum.

"Ren, gue takut sama Jae. Gue udah sering bilang. Kalo gue mau berhenti tapi dia selalu maksa. Gue takut sama dia. Dia posesif banget sama gue"

Dari cerita itu raut muka Rendi langsung berubah khawatir.

"Lo gak boong?"

"Ngapain gue boong sih?"

"Iya"

"Tapi Ren, jangan lo benci sama Jae"

Dia mendekatiku memelukku dengan erat.

"Gimana gue gak benci dia? Kalo dia udah memnuat orang yang gue sayangi merasa ketakutan? Kasih tau gue cara biar gak benci dia?"

Airmataku tak terbendung.

"Maaf, ren"

"Iya"

"Lo jijik gak sama gue?"

"Enggak"

"Maaf ren. Maaf banget"

"Iya, gak usah diulangi lagi"

"Iya, Ren"

"Jangan ada rahasia lagi!"

"Lo juga, Ren"

"Iya, kita berdua harus janji gak ada rahasia diantara kita. Ok?"

"Iya"

Disini pada akhirnya, gue jujur dengan Rendi. Entah kenapa rasanya gue beruntung banget punya pacar kayak Rendi. Tukang ngegas, tukang marah-marah, Tukang ngambek tapi pengertian sama keadaam gue. Gue berharap dia gak bakal berubah.

TBC.

Friend with BenefitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang