"Ren, tadi lo ngomong apa aja sama Jae?" tanyaku begitu dia sampe di apartmen.
"Ya gitu"
"Gitu apa?"
"Lo taukan dia serakah"
"Lo gak main fisikkan?"
Seketika wajah Rendi berubah sebal.
"Hmm"
"Ren, jawab"
"Gue capek, lin"
BLAM.
Suara pintu kamar yang dibanting Rendi.
"Ren, plis"
Tanpa jawaban dari dalam kamarnya.
Gue menyerah.
£
Malamnya gue nonton di ruang tengah dan Rendi keluar kamar menuju dapur.
Gue sempat menoleh, ternyata dia hanya minum air dan menghela nafas.
"Ren, gue tau gue salah. Salah malah khawatir sama Jae" Gue masih menatap TV.
Dan Rendi, gue rasa dia masih berada di dapur.
"Hmm" balasnya.
"Gue minta maaf"
Dari belakang Rendi memelukku.
"Udahlah gak usah dibahas gak penting. Yang penting lo sama gue"
Cup.
Dia mencium pipiku.
"Gue nugas disini ya. Di dalem sepi" Rendi beranjak menuju kamarnya.
Beberapa menit kemudian dia sudah duduk di sebelah gue dengan setumpuk tugasnya.
"Ren, lo gak cape?"
"Cape? Iya. Terus mau gimana lagi?"
"Maksud gue panggillan kita gitu"
"Oh yang gue lo?"
Gue hanya mengangguk.
"Udahlah gue nyaman panggil gue - lo. Aku - kamu terlalu canggung"
"Tapi-"
"Gue nyaman kayak gini gak usah berubah"
"Cih dasar" Gue berdiri.
"Lo mau kemana?"
"Tidur capek sama lo"
"Gue ikut"
"Kamar lo disana" Gue menunjuk pintu kamarnya.
"Semalem aja ya. Tidur sama lo"
"Idih males" cuekku.
"Tidur sebelahan doang"
"Serah lo"
"Idih gak ikhlas banget sih"
Dia mencium keningku.
"Kerjain tugas lo dulu. Ntar lo baru nyusul tidurnya"
"Yaudah bobo sana, yang"
"Iya yang"
"Yang?"
"Yang ngantuk nih gak usah cari gara-gara lo"
Dia balik nugas.
Disini gue berharap sekarang, nanti, masa depan dan seterusnya Rendi lah yang menjadi pasangan hidupku.