BAB 7

177 38 43
                                    

A good marriage is the union of two forgivers

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

A good marriage is the union of two forgivers. – Ruth Bell Graham

|

|

All Jiyeon POV

Sebulan sudah berlalu. Aku melihat situasi keluarga ini bukannya berjalan ke depan, melainkan jalan di tempat.

Masalah terbesarnya adalah tak satu pun lamaran yang dikirimkan oleh Myungsoo Oppa ke perusahaan-perusahaan yang dia tuju mendapatkan respon yang baik. Panggilan wawancara banyak, bahkan hampir setiap minggu selalu ada panggilan wawancara. Tahapannya kadang sudah nyaris. Beberapa kali Myungsoo Oppa dipanggil untuk wawancara tahap kedua dan ketiga.

Akan tetapi, semua itu nihil. Tidak ada satu pun yang mengabarkan bahwa Myungsoo Oppa diterima dan bisa bekerja secepatnya.

Aku tahu tidak ada sesuatu yang instan. Mencari pekerjaan tidak seperti memilih pakaian di toko baju, yang bisa asal pilih dan coba-coba. Aku mulai merasakan dan mencium ketegangan, juga keputusasaan. Myungsoo Oppa memang tidak mengatakan bahwa dirinya putus asa, kesal, atau marah. Dia hanya diam. Masalahnya, Myungsoo Oppa tidak pernah diam. Myungsoo Oppa yang diam bukanlah Myungsoo Oppa yang aku kenal selama sepuluh tahun ini. Myungsoo Oppa yang diam bagiku adalah sebuah pertanda buruk.

 Myungsoo Oppa yang diam bagiku adalah sebuah pertanda buruk

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Perlahan Myungsoo Oppa berubah, tepat di depan mataku. Terbukti ketika Haneul mengajaknya bermain dengan terang-terangan Myungsoo Oppa menolaknya.

"Tidak, Haneul. Jangan sekarang. Appa sibuk. Sana, main sendiri."

Bayangkan, Myungsoo Oppa benar-benar mengatakan "tidak" kepada malaikat kecilnya! Sebelumnya, mana pernah dia menolak Haneul? Bukan hanya aku yang kaget. Haneul juga. Dia terdiam ketika Appa yang dia sayangi itu tidak menggubris ajakan mainnya, bahkan meninggalkan gadis kecil itu sendirian.

Sampai dia benar-benar yakin bahwa appanya benar-benar tidak mau bermain dengan dirinya, baru Haneul berulah. Dia mengungkapkan kekecewaannya dengan menangis.

"Huaaa!!! Aku mau sama Appaaaaa!!!" jerit Haneul dengan pilu. Hatiku sungguh miris. Aku ingin ikut menangis tanpa bisa berbuat apa-apa. Bukannya tidak mau, tetapi aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku seperti berada di tengah bara api. Aku tidak bisa bergerak ke mana-mana.

For Better or WorseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang