BAB 10

200 42 41
                                    

A good marriage is the union of two forgivers

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

A good marriage is the union of two forgivers. – Ruth Bell Graham

|

|

Jiyeon berada dalam situasi dimana dia ingin sekali melarikan diri tanpa menoleh ke belakang sama sekali. Bukan hanya itu, dia ingin berlari sambil berteriak sekencang mungkin. Kalau perlu, tidak kembali lagi. Namun, dia merasa konyol. Konyol, kekanakan, dan tidak bertanggungjawab. Bagaimana dia bisa meninggalkan mereka, kedua wajah malaikat itu serta suami yang sedang terpuruk itu? Dia tidak bisa. Mereka membutuhkan dirinya.

Cobaan untuk kali kesekian itu dimulai kembali pada hari pertama Jiyeon masuk ke kantor. Haneul tak enak badan sejak semalam dan semalaman itu pula gadis kecil itu rewel. Menangis tanpa henti.

"Huaaa!!! EOMMAAA!!!"

Jiyeon mendesah. Kepalanya pening mendengar jeritan Haneul yang berlomba dengan tangisannya. Kurangnya tidur semakin menambah kepenatan. Mata Jiyeon berkunang-kunang. Bahkan, Moonbin yang biasanya juga diam tiba-tiba ikut rewel. Anak laki-laki itu ikutan marah-marah dan ngedumel tak jelas. Mungkin dia juga merasa terganggu mendengar adiknya yang rewel.

Sementara itu, Myungsoo tidak berkata dan berbuat apa-apa. Bibirnya seperti terjahit rapat. Begitu juga telinganya yang terseumpal tanpa celah. Laki-laki itu tidak peduli dengan keadaan sekitarnya, keadaan keluarganya sendiri.

Jiyeon kelimpungan. Padahal, waktu sudah menunjukkan pukul 7.00 pagi. Moonbin siap mandi dan berangkat, dan hari itu adalah hari pertama Jiyeon bekerja. Dia bersyukur masih ada setitik kesadaran dalam diri Myungsoo yang berkenan mengantarkan Moonbin ke sekolah.

Akan tetapi, bagaimana dengan Haneul?

"Oppa, bisa antar Haneul ke dokter?" tanya Jiyeon kepada Myungsoo.

Tatapan malas menghunjam mata Jiyeon. Deg! Hati Jiyeon seperti ditusuk oleh tatapan itu. Rasanya dia sudah bisa menebak apa yang akan Myungsoo katakan lewat tatapan mata suaminya itu.

"Kenapa tidak tunggu kamu pulang saja?"

Meskipun Jiyeon sudah menduganya, jawaban Myungsoo tetap menusuk hatinya. Bibir Jiyeon terkatup rapat. Dia ingin menangis saat itu juga. Dia benar-benar tidak habis pikir, memangnya suaminya itu tidak lihat, dirinya tidak tidur semalaman hanya untuk menunggui Haneul? Hati Jiyeon menangis. Ke manakah hati nurani suaminya? Apakah Myungsoo sudah tidak memilikinya lagi?

Jiyeon tahu bahwa marah pada saat genting seperti saat ini tidak bijak dan dengan cepat dia menyadarinya. Dia masih punya akal sehat dibandingkan dengan Myungsoo, atau siapa pun laki-laki itu karena rasanya dia sudah tidak mengenal Myungsoo Oppa-nya lagi.

Myungsoo pun mengantarkan Moonbin ke sekolah, meninggalkan Jiyeon yang hampir putus asa berusaha menenangkan Haneul. Jiyeon segera memanggil Bibi Jo, memintanya menggendong Haneul agar tangisnya mereda.

For Better or WorseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang