Semua terencana begitu menyenangkan, berjalan begitu indah, dan terjadi begitu sempurna. Namun, saat itu semua tidak lagi berjalan sesuai rencana, mampukah mereka mempertahankan pernikahan?
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
A good marriage is the union of two forgivers. – Ruth Bell Graham
|
|
JIYEON POV
Sesekali aku melihat ke arah arloji di tanganku, bergantian dengan pintu restoran yang segaris lurus dengan arah pandangku. Waktu menunjukkan pukul 6.30 malam. Meskipun janjiannya pukul 7.00 malam, aku sudah gelisah sampai ke ubun-ubun. Dudukku sangat tidak nyaman seperti ada ratusan paku tertancap di kursi yang kududuki. Tanganku bergerak resah, dari mengetuk-ngetukkan jari di atas meja, menaruhnya di pangkuan, sampai memainkan ponsel. Semua sudah dilakukan.
Keterlaluan. Mengapa aku jadi seperti ini? Seperti sedang menanti kencan pertama saja. Sangat konyol dan bodoh! Aku terus mengutuki diriku sendiri dalam hati. Tarikan dan embusan napas menemani kesendirianku yang dilanda kegelisahan. Es lemontea yang aku pesan sejak awal sudah habis, bahkan es batunya pun ludes. Aku memanggil pelayan dan memesan satu gelas lagi.
Lima menit berlalu, tetapi belum ada tanda-tanda kehadiran ataupun kabar darinya. Aku sudah kebelet karena kebanyakan minum. Maka, aku pun pergi ke toilet sekalian mematut diriku di cermin. Aku merasa sudah cukup oke dengan blus cantik dengan corak garis-garis serta celana jin, sekaligus flat shoes berwarna putih.
Begitu aku keluar dari kamar mandi, kakiku terhenti. Aku segera tahu bahwa yang sedang berdiri di dekat pintu masuk adalah dirinya. Matanya sedang mencari-cari, sedangkan aku masih membeku di posisiku berdiri. Akhirnya, matanya berhasil menangkap sosokku. Dia tersenyum. Tanpa sadar kami berdua sama-sama bergerak. Kami menuju satu titik hingga kami berdua berdiri berhadapan.
Hmmm, sapaan yang pintar. Aku mengangguk sementara tanganku mengusap rambutku sendiri yang sekarang tinggal sebahu. Kemarin tiba-tiba saja aku ingin memotongkan rambutku. Tidak ada maksud apa-apa, hanya ingin penampilan baru yang segar. Sekaligus membuang kesialan yang sudah menimpaku bertubi-tubi. Aku sempat ragu karena jarang sekali nekat memotong pendek rambutku yang selama ini selalu tergerai panjang sepunggung.
"Aku suka. Cocok sekali dengan kamu," ucap Myungsoo Oppa dengan tulus.
Aku tersenyum. "Ayo, duduk."
Sekali lagi kami berhadapan dengan tangan bertumpu di meja. Melihatku diam saja, Myungsoo Oppa pun memulainya, "Kamu bilang ada yang ingin kamu bicarakan denganku."
Aku mengangguk. Semula aku mengira dirinya akan tenang bahkan sedikit cuek dan santai. Ternyata, Myungsoo Oppa terlihat begitu gelisah. Berulang-ulang dia menggosok-gosokkan kedua tangannya satu sama lain, kemudian menggosoknya ke celana. Jarinya juga sesekali mengetuk-ngetuk meja.
"Kamu mau pesan makanan dulu?" Aku menawarkannya.
"Kamu sudah mau makan?" Myungsoo Oppa bertanya balik.