Semua terencana begitu menyenangkan, berjalan begitu indah, dan terjadi begitu sempurna. Namun, saat itu semua tidak lagi berjalan sesuai rencana, mampukah mereka mempertahankan pernikahan?
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
A good marriage is the union of two forgivers. – Ruth Bell Graham
|
|
MYUNGSOO POV
Tepat pukul 11.00 malam, aku tiba di apartemen. Lelah dan kacau bercampur menjadi satu. Apartemen sudah sepi. Pantas saja sepi, mereka pasti sudah tidur. Baguslah. Mereka tidak perlu melihat aku yang pulang larut seperti ini.
Aku berjalan memasuki kamar. Hanya kegelapan yang ada di mataku. Tidak biasanya. Aku menekan saklar untuk menghidupkan lampu. Hah? Kosong? Apa Jiyeon tidur di kamar anak-anak? Aku meletakkan tasku di kasur sebelum pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Setelah itu aku berbaring di kasur, ingin tidur cepat. Mengurus bisnis benar-benar sulit, rasanya tidak sanggup, tetapi ini jalan satu-satunya yang ada.
Ponselku bergetar. Ada pesan masuk.
Terima kasih untuk hari ini, Myungsoo. Jaljayo.
Setelah membacanya, aku meletakkan ponselku kembali. Itu pesan dari rekan bisnisku, proyek yang sedang aku jalani beberapa bulan ini. Awal mulanya, temanku saat SMA dulu mengusulkan aku untuk membuka bisnis yang sedang trend saat ini, bisa cepat mendapatkan untung. Kupikir benar juga sarannya.
Jadi, aku mencairkan uang pesangon. Itu menyebabkan pertengkaran di antara aku dan Jiyeon. Memang uang pesangon untuk tabungan anak-anak, tetapi aku juga butuh untuk bisnis ini. Tidak aku gunakan untuk yang aneh-aneh.
Ternyata menjalankan bisnis tidak akan semulus yang aku harapkan. Proyek itu rugi, aku ditipu oleh temanku itu. Hari itu adalah bencana, uang pesangonku raib. Bagaimana kehidupanku setelah ini. Tidak mungkin aku cerita pada Jiyeon. Dia akan marah. Dan aku tidak mau disalahkan, tujuanku benar menggunakan uang untuk bisnis. Siapa yang menyangka akan gagal. Aku menghubungi semua kontak yang ada di ponselku untuk meminta bantuan. Akhirnya kolegaku saat di kantor dulu mengenalkanku pada seseorang yang sekarang menjadi rekan bisnisku saat ini. Dia langsung bersedia menjadi investor padahal aku belum menjelaskan tentang bisnisku.
Dia perhatian, lembut, dan suka skinship. Awalnya risih, tetapi beberapa pertemuan berikutnya aku terbiasa. Mungkin karena suasana berisik dan tegang di apartemen membuatku tidak nyaman, jadi bertemu dengan Dia membuat moodku membaik.
Aku menghentikan lamunan tentang bisnis dan Dia. Aku keluar dari kamar untuk menonton televisi. Saat melewati kamar anak-anak, aku berhenti sejanak. Lalu, membuka pintunya. Kosong.
Aku mengerjapkan mataku. Benar. Kosong. Tidak ada anak-anak. Tidak ada Jiyeon. Kemana mereka?, tanyaku dalam hati.
Aku kembali ke kamar. Mengecek lemari pakaian kami. Aku sama sekali tidak menemukan pakaian Jiyeon. Kemudian, aku berlari kembali ke kamar anak-anak. Melakukan hal yang sama. Hasilnya sama. Terlebih lagi aku tidak menemukan satu pun seragam anak-anak.