“Pak, berkasnya sudah disiapkan. Rapat tinggal menunggu kehadiran Bapak,” seorang wanita cantik bertubuh langsing bak gitar Spanyol melenggang masuk menemui sang direktur di ruang kerjanya dengan gaya sensualnya yang khas.
“Ya, saya segera hadir,” jawab sang direktur tanpa perlu repot-repot menoleh ke arah sekretarisnya yang telah melancarkan usaha maksimalnya untuk membuat sang atasan melirik ke arahnya.
Sang direktur membenarkan name tag bertuliskan ‘Stevano Putra Leonard, The Fund and Raising Director of Leonard Corp.’ di atas mejanya sebelum bangkit dari singgasananya dan berjalan keluar dari ruangan kebesarannya. Sang sekretaris hanya mampu menggerutu sebal di belakang karena usahanya yang sia-sia dan tidak membuahkan hasil untuk membuat sang direktur muda tertarik padanya.
Evan menoleh sejenak ke arah sekretarisnya sebelum resmi keluar dari ruangannya. Ia menatap lurus ke arah sekretarisnya, membuat sang sekretaris berdebar tak karuan dan salah tingkah mendapat tatapan seintens itu oleh bosnya yang sangat superior. Evan tiba-tiba menyunggingkan sebuah senyum manis, membuat jantung Gina, si sekretaris melonjak riang.
“Apakah akhirnya si direktur muda ini akhirnya menyadari pesonaku juga?” batin wanita itu dalam hati.
“Besok, pakai rok yang panjangnya minimal tepat selutut atau sampai mata kaki, jika besok kamu tetap mengenakan rok kekurangan bahan seperti itu, jangan salahkan saya jika saya membawa karung beras untuk kamu jadikan rok. Mengerti?” ancamnya dengan sebuah senyuman di wajah tampannya yang kontras dengan desis ancaman yang baru saja ia lontarkan. Direktur mudanya ini sangat menyeramkan, batin sang sekretaris.
“I—Iya,” jawab Gina, takut-takut.
“Bagus,” Evan berdecak puas dan segera melangkah ke ruang meeting dimana RUPS tahunan tengah dilangsungkan.
Rapat berjalan lancar di bawah kendali Evan sebagai moderator. Kemampuannya yang di atas rata-rata dalam usia yang terbilang muda, di pertengahan dua puluhan, membuatnya tidak bisa dipandang sebelah mata oleh para pegawai dan pemegang saham bisnis mega mall ayahnya, Steven Leonard.
Evan bahkan sudah berhasil melebarkan sayap bisnis perusahaan keluarganya sampai ke luar negeri seperti London, Jerman, Jepang, Korea, Singapore, dan Thailand. Walaupun begitu, semua posisi dan nama besar Evan bukan hanya berasal dari ayahnya yang notabene pemimpin tertinggi di jaringan mega mall tersebut, tetapi merupakan hasil kerja kerasnya. Buah dari hasil menuntut ilmu ke Harvard University jurusan Business Administration dan diteruskan ke pendidikan pasca sarjana dalam bidang bisnis juga di Yale University. Semua dilakukan Evan hanya untuk satu hal. Untuk membuktikan pada seseorang bahwa ia patut dipertimbangkan. Untuk mengalihkan mata seseorang agar mau melirik ke arahnya, agar dapat melihatnya seorang, sebagai seorang lelaki dewasa.
“Evan,” panggil seseorang begitu Evan melangkahkan kaki keluar dari ruang rapat. Evan menoleh ke sumber suara dimana tampak Kareen tengah berlari dengan napas terengah-engah dengan peeplum dress selutut berwarna peach-nya yang dipadu dengan blazer putih yang melekat pas di tubuhnya, bahkan ia masih mengenakan high-heels-tujuh-senti-nya.
Evan mengernyit bingung memandang wanita cantik itu. Apa tujuannya mencarinya?
KAREEN
Ini gila! Mama benar-benar gila! Ups, aku bisa durhaka kalau mengatai Mama gila, tapi sungguh, ide absurd Mama kali ini benar-benar gila! Aku membutuhkan seseorang untuk meluapkan kekesalanku sekarang! Evan! Ya, dia orang yang terbaik. Evan pasti dengan sukarela menyediakan sepasang kupingnya untuk ku-ciderai dengan luapan protesku akan ide absurd Mama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Princess Love Issue
ChickLit*first sequel of 27 to 20* Dua puluh tujuh tahun, cantik, cerdas, berbakat, dan belum mempunyai pasangan? Aneh? Tidak juga, kalau kamu menjadi Kareenina Divira Geovanni, putri sulung kesayangan Azkanio Geovanni. Dengan sang ibu sudah mendesaknya unt...