Twelve

70.4K 4.1K 77
                                    

EVAN

Aku bahagia!

Tidak, bahagia saja tidak bisa menjelaskan perasaanku sekarang!

Aku senang, girang, excited, suka cita, dan apapun bentuk ungkapan rasa kebahagiaan lainnya.

Gadis yang kutunggu sejak lama akhirnya akan menjadi istriku sebentar lagi.

Ya, istriku. Betapa indahnya kata itu.

Kareen. Istriku.

Aku yakin wajahku pasti sudah cengengesan seperti orang tolol sekarang. Masa bodoh, aku nggak peduli. Yang penting aku bahagia dan tidak ada yang bisa mengubah itu!

Bahkan hari Senin yang diistilahkan dengan Monster Day pun tak bisa mengubah senyum di wajahku. Tumpukan pekerjaan dan proposal yang menggunung di meja kerjaku malah terlihat seperti potongan besar rainbow cake yang menggiurkan.

Pintu ruanganku tiba-tiba terketuk pelan.

Aku berdehem sejenak sambil mengontrol raut wajahku agar tidak berlebihan. Malu dong kalau klien atau bawahanku melihatku seperti ini. Bisa jatuh wibawaku.

“Masuk,” perintahku sambil berusaha menahan kedut di sisi bibirku.

Pintu terbuka perlahan, menampakkan seraut wajah wanita yang cukup cantik —yang sayangnya tidak akan pernah bisa mengimbangi Kareen-ku— dengan setelan kerja berupa tanktop putih yang dilapisi blazer hitam memasuki ruanganku dengan langkah takut-takut. Gina. Sekretarisku.

Ia menutup pintu di belakangnya dengan derit sehalus mungkin.

“Pak Stevano,” panggilnya sambil mecicit.

“Ada apa?”

“Sa—saya mau minta... maaf atas—atas kelancangan saya Sabtu malam kemarin di acara Celebration Night-nya perusahaan keluarga Geovanni,” ujarnya takut-takut.

Aku memandang wanita di hadapanku ini. Ia menundukkan kepala dalam. Tampak sangat menyesal atas perbuatannya. Sepertinya dia sendiri pun tidak sadar atas kelakuannya malam itu, mungkin karena pengaruh alkohol yang berlebih pada tubuhnya saat itu.

“Tidak apa-apa. Kembalilah bekerja,” jawabku disertai sebuah senyuman. Jangan salah sangka, aku bukan mau menebar pesona, hanya saja itu adalah bentuk keramahan agar ia mempercayai kalau aku tidak menganggap kelakuannya saat itu sebagai masalah besar. Toh, tak ada yang terluka dengan tindakannya malam itu, bukan?

Gina mengangkat wajahnya dengan pancaran mata penuh rasa syukur.

“Be—benarkah itu, Pak?” tanyanya memastikan.

Aku mengangguk mengiyakan.

“Sekarang kembalilah bekerja.”

Ya, bagaimana pun aku tidak bisa mempersalahkan Gina, lagi pula dia juga ikut andil dalam keberhasilanku meminang Kareen. Kalau bukan karena dia menjegatku saat itu, Kareen nggak akan sampai mabuk dan Mama dan Tante Maureen nggak akan merencanakan sebuah pernikahan untuk kami sekarang.

“Te—terima kasih, Pak. Terima kasih.” Gina tiba-tiba meraih tanganku yang kutumpukan di atas meja kerjaku dan menggenggamnya erat sambil melantunkan ucapan syukur dan terima kasih.

Risih memang, tapi kalau aku menepisnya nanti dikira aku nggak tulus lagi maafinnya. Ya sudahlah. Toh, dia hanya menggenggam tanganku saja.

Parfum Gina yang agak menusuk mampir ke indra penciumanku. Ughh... sedikit tidak nyaman. Bukan, sangat tidak nyaman.

Kalau parfum Kareen nggak berbau menusuk seperti ini. Tapi lebih soft. Ah, memikirkannya, aku jadi rindu pada gadisku sekarang. Sedang apa dia? Apa sudah makan? Apa sedang sibuk mempersiapkan pernikahan kami yang serba express bersama Mama dan Tante Maureen? Hmm... mungkin sebentar lagi aku harus mulai belajar memanggil Tante Maureen dengan sebutan Mama. Mama, hm? Terdengar sangat baik.

Princess Love IssueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang