Six

78K 4K 45
                                    

KAREEN

Seseorang, apa aku baru bermimpi? Evan baru saja menciumku?

Evan!?

That Evan?

Stevano Putra Leonard? Pria yang lebih muda dua tahun dariku yang sudah kuanggap seperti adikku sendiri?

Siapapun, tolong guyur aku dengan air kalau ini mimpi.

Entah untuk berapa lama, aku hanya mampu berdiri diam di posisi Evan meninggalkanku tadi.

Shock? Pasti.

Bayangkan kalau adikmu sendiri tiba-tiba menciummu.

Bukan jenis ciuman yang hanya menempelkan bibir dengan bibir, tapi ini jenis ciuman yang melibatkan lumatan yang umumnya dilakukan oleh sepasang kekasih!

Dan kabar buruk yang lain adalah... itu adalah ciuman pertamaku.

Jangan menertawakan aku, please, karena belum pernah berciuman sampai usiaku menginjak angka dua puluh tujuh. Kalian pikir apa mungkin aku bisa berciuman atau melakukan kontak fisik apapun dengan pria-pria yang pernah dekat denganku atau bahkan dengan pacarku sendiri dengan keberadaan Papa-ku yang selalu memonitori dua puluh empat jam seperti hansip kurang pemasukan?

Lagipula, aku sudah memutuskan untuk menyimpan ciuman pertamaku untuk suamiku nanti. Terdengar norak dan terlalu konservatif? Whatever. Aku nggak akan peduli dengan tanggapan kalian. Aku adalah jenis wanita yang sangat berpegang teguh pada prinsip dan norma-norma.

Tunggu, aku baru menyadari satu hal.

Evan sudah merebut apa yang seharusnya menjadi milik suamiku nanti!

Aku tersadar dari lamunanku ketika seekor nyamuk menggigit wajahku hingga menimbulkan rasa gatal yang sangat menyiksa.

Ketika aku mau menepuknya, malah ia kabur dan membuatku menampar pipiku sendiri.

Sial!

Malam ini ada dua hal yang membuatku kesal.

Evan dan nyamuk.

Mungkin, aku bisa menganalogikan Evan dengan nyamuk. Selalu datang dan berbuat sesukanya tanpa bisa tertebak dan pergi di saat yang tepat menurutnya.

Huff... entah wajah apa yang harus kutunjukkan ketika bertemu dengannya nanti. Mungkin, aku harus menghindarinya. Harus.

***

“Kareen,” panggil Mama riang.

Aku menoleh dengan malas.

“Ada apa, Ma?” tanyaku sambil melangkah turun dari anak tangga yang baru saja kunaiki, menghampiri Mama.

Mama tersenyum penuh arti.

“Gimana calon-calonnya Mama? High quality, kan?”

Otakku langsung memutar memori tentang kencanku seharian tadi.

Yang pertama, Yudi, politikus lugas yang ngeselinnya minta ampun. Hampir membuatku melayangkan minumanku ke wajahnya. Ditambah satu poin buruk. Tidak bisa menghargai orang lain.

Kedua, Dimas, si dokter anak yang pemalu. Aku seperti sedang berbincang dengan tembok. Ia hanya menjawab seperlunya saja. Mungkin, beberapa wanita menyukai tipe pria pemalu karena tidak akan banyak bertingkah yang macam-macam, mungkin. Tapi yang jelas, tipe pria seperti Dimas sama sekali tidak masuk dalam kriteriaku. Aku menyukai pria penuh rasa percaya diri yang dapat membuat keputusan secara tegas dan membimbingku.

Dan yang terakhir, Edgar, si news anchor. Mengingatnya saja mengalirkan rasa mual yang bersumber dari perutku dan merangkak naik ke kerongkonganku. Please, jangan memaksaku untuk menjabarkan lagi tentangnya. How to put it? Aku nggak bakalan mungkin bisa menjalin hubungan dengan lelaki yang dasarnya nggak doyan sama aku, kan? Nggak doyan sama wanita lebih tepatnya.

Princess Love IssueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang