Eighteen

77.2K 3.5K 53
                                    

KAREEN

Gigiku kering dan rahangku kaku. Tersenyum dua jam tanpa mingkem benar-benar sebuah cobaan berat. Siapa bilang tersenyum itu hanya membutuhkan otot lebih sedikit ketimbang cemberut? Faktanya, walaupun benar begitu, tapi tetap aja, tersenyum dua jam non-stop dapat membuatmu susah mengatupkan mulut setelahnya.

Sekarang, aku tengah berada dalam resepsi pernikahanku dan Evan. Ya, resepsi ditunda sampai sebulan setelah pernikahan kami. Atas permintaan siapa lagi kalau bukan Papa gantengku itu? Dia bersikeras bahwa dia dan Mama harus melihat resepsi kami. Jadi terpaksa acara ditunda dan diganti menjadi hari ini.

Pertanyaannya, kenapa pemberkatannya tidak ditunda sampai sebulan setelah kejadian anfalnya Papa juga? Dan dia akan menjawab dengan alasan klise. 'Tidak baik menunda hal baik'. Astaga.

"Capek yah, Reen?" tanya Evan yang berdiri di sisiku.

"Lumayan, Van," jawabku sambil memaksakan sebuah senyuman.

"Sabar yah, Reen," ucapnya lembut.

"Aduh, Van. Kak Kareen bukan capek gara-gara berdiri di resepsi kelamaan tau. Dia tuh capek gara-gara aktivitas kalian di malam hari. Belah duren setelah main ludo, huh? Such a good foreplay," cibir siapa lagi kalau bukan 'kakak iparku tersayang', Stevani.

Dia cekikikan sendiri di hadapanku dan Evan yang serempak mengheningkan cipta dengan wajah bersemu merah seperti kepiting rebus.

Jadi, dia mengetahui 'acara' kami setelah 'main ludo' di malam pernikahan kami? Kyaa... benarkah? Ember mana ember?

"Lo... tau?" tanya Evan tidak bijak. Itu sama aja kamu mengkonfirmasinya, Evan... Aduh, suamiku ini pinter-pinter bodoh ternyata. Upss... aku nggak boleh mengatai suamiku, bisa jadi istri durhaka aku nanti.

"Please deh, Van. Bukan cuma gue yang tau. Mama, Papa, sama besan juga tau. Orang suara kalian kaya kuda nil mau lahiran. Haha," jawabnya di sela tawanya.

Astaga. Tuhan, kalau tau aku akan jadi bahan bully seperti ini, lebih baik aku nggak menikah. Eh, nggak boleh gitu yah. Nikah kan amanah. Tapi kalau jadi bahan bully gini... Ah, udahlah. Nasi sudah menjadi bubur, buburnya udah berubah jadi bubur ayam. Toh aku juga udah nikah. Nikmatin ajalah jadi bahan bully gini. Hiks.

"Kalian... bener-bener..." geram Evan tertahan. Aku menggapai tangan Evan yang terkepal dan mengusap lembut di sana. Dapat kurasakan emosi Evan yang meluruh sedikit demi sedikit. Ia memandang ke arahku dan kubalas dengan sebuah senyuman manis.

Jprett...

Suara blitz kamera mengagetkanku dan Evan. Kami serempak menoleh ke sumber cahaya menyilaukan yang tadi menyorot wajah kami. Mama. Dengan DSLR di tangannya dan Papa di sisinya.

"Ciee... yang pengantin baru," godanya lagi. Aku langsung melepas tanganku yang tadi menggenggam tangan Evan. Sekilas, tampak sorot kekecewaan di mata Evan.

"Kareen, nggak usah malu gitu kali, Little Princess," celetuk Papa.

Ia melangkah mendekat ke arahku dan Evan di pelaminan dan menarik tangan Evan, menempatkannya melingkari pinggangku. Jantungku melompat, menari passo doble ketika Papa melakukan hal itu.

"Gini kan lebih enak dilihatnya," sambungnya dengan seringai jahil di wajahnya.

"Evan, jangan pernah lepasin puteri kecil Om yah. Sekarang, Om sudah melepas tanggung jawab pada Putri Om. Jadikan dia Ratu di hidupmu. Jadikan senyumnya kewajiban untukmu dan tawanya kemutlakan untukmu. Jadikan tangis dan air matanya cambuk yang akan menghukummu. Apa kamu mengerti?" pesan Papa dengan penuh wibawanya yang jarang kelihatan.

Princess Love IssueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang