Twenty Two

63.6K 2.9K 57
                                    

EVAN

Aku mendorong pelan kursi roda yang diduduki Kareen menyusuri koridor rumah sakit, kembali ke ruang rawatnya. Sebuah senyum berusaha kuperlihatkan di wajahku, tapi aku tau senyumanku gagal, hanya menghasilkan senyuman getir.

Aku memutar knop pintu dan mulai mendorong istriku masuk dan membantu mengangkat tubuhnya untuk rebah di ranjang.

Ringan. Kareen menjadi sangat ringan sekarang. Ia kehilangan banyak bobot tubuhnya setelah seminggu pasca kejadian naas yang menghilangkan nyawa buah hati kami.

Aku menyunggingkan senyumku padanya sambil mengusap pelan puncak kepalanya. Ia masih tak bergeming. Hanya diam menerima setiap perlakuanku. Aku mendekatkan tubuhku dan mengecup pelan bibir Kareen.

Dingin dan kering. Ia masih tak bergeming. Aku menatap lagi ke wajah cantiknya yang terasa kosong itu. Raganya ada di sini, di sampingku, tapi jiwanya tak tau berada dimana. Istriku telah pergi, bersama calon anak kami. Desakan hangat menyelimuti kedua pelupuk mataku. Pandanganku mulai mengabur. Aku menjauhkan diri dari Kareen dan memalingkan wajah darinya, tak ingin ia sampai melihat tetesan air mata di wajahku. Tapi, apa ia bahkan mau repot-repot menyadari air mataku? Ia sendiri sibuk bergumul dengan kekosongan jiwanya. Aku bahkan tak yakin ia bahwa meresapi kehadiranku di dekatnya.

Apa ia mengharapkanku untuk berada di sisinya? Apa aku bahkan berharga untuknya saat ini?

“Reen, aku kangen banget sama senyum kamu dan semua kelakuan polos kamu yang konyol...” lirihku pelan. Entah dia akan mendengarkan atau tidak.

Suara derit pintu ruang rawat terbuka, dokter yang kemarin menangani Kareen masuk sambil menyunggingkan senyum formalnya bersama seorang suster yang mendampinginya. Aku pun balas tersenyum pada mereka.

“Pagi, Pak Stevano,” sapanya.

“Pagi, Dok.”

“Bagaimana keadaan Nyonya Kareenina hari ini?” tanyanya sambil menatap Kareen yang terbaring di ranjang pasien dengan tatapan kosong yang terarah lurus ke depan.

Aku tersenyum kecut.

“Yah, begitulah, Dok. Masih tak mau berbicara, tapi setidaknya ia sudah mau makan walau hanya sedikit,” jelasku.

Sang Dokter ber-name tag dr. Fadli itupun mengangguk-anggukkan kepala sambil menatap simpati ke arah Kareen yang masih tak bergeming.

“Ehem,” dr. Fadli berdehem, “Pak Stevano, sepertinya Ibu Kareenina boleh pulang siang ini. Untuk kondisi fisiknya sudah mulai stabil, tapi psikisnya...” ia menggantungkan kalimatnya, “saya harap keluarga dapat memberikan dukungan moril yang cukup untuk mempercepat penyembuhan luka psikis yang diderita Ibu Kareenina.”

Aku menunduk. Dukungan keluarga? Shit! Apakah sang Dokter tak tau kalau aku dan seluruh anggota keluarga sudah mengusahakan segalanya untuk membantu Kareen bangkit dari keterpurukannya? Tapi ia masih di sana. Bergumul dalam sepi yang ia ciptakan, dengan berlapis-lapis tembok yang ia bangun untuk menutupi diri dari sekitar.

Kareen... kapan kamu akan kembali menjadi Princess-ku yang dulu? Bangkit dari seluruh rasa kehilangan ini?

***

Aku mendorong Kareen keluar dari bangunan rumah sakit dengan kursi roda, mengarah ke pelataran parkir. Ya, aku menjemputnya pulang seorang diri. Mama dan anggota keluarga yang lain berinisiatif menunggu untuk menyiapkan acara kejutan atas kepulangan Kareen di apartemen kami.

Ups... bukankah aku seharusnya tidak membocorkan ini? Ini kejutan, bukan?

Pink carnation...” suara lembut itu tiba-tiba terdengar ketika aku mendorong Kareen ke dekat mobilku yang terparkir apik.

Princess Love IssueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang