Four

79.3K 4.3K 246
                                    

KAREEN

Second appointment

“Err... jadi...Nona Kareen—”

“Kareen aja,” selaku.

“Ehem,” Dimas —partner blind date-ku kali ini— tampak berdehem gugup. Keringat dingin mengucur memenuhi pelipisnya.

Oh my, what a coward chick we have here.

“Err... cuacanya cerah yah,” ucapnya akhirnya.

Aku mendongak ke arah jendela besar yang memisahkan café dengan jalan raya di luar, melihat ke arah langit. Mendung dan berawan. Apanya yang cerah?

“Y—ya?” aku berusaha membuat kataku terdengar lebih seperti persetujuan, tapi sepertinya nadaku lebih mengarah kepada pertanyaan. Whatever.

Dimas menggaruk-garuk tengkuknya yang kuyakin tidak gatal. Wajahnya memerah. Mungkin dia sedikit gugup. Ralat, sangat gugup.

Oh, sudahkah kukatakan? Dimas adalah seorang dokter anak di sebuah rumah sakit swasta yang cukup terkenal di wilayah Jakarta dan mempunyai cabang di hampir seluruh wilayah Jabodetabek. Aku heran, bagaimana pria pemalu seperti ini menghadapi anak-anak yang menjadi subjek nafkahnya? Emangnya sosok —sangat— pemalu seperti Dimas ini bisa disukai anak-anak?

Sepertinya Dimas bukan the right man untukku.

Aku menggeleng sambil menatap arloji dan melirik ke arah Evan di sudut café yang tampak menyibukkan diri dengan kopi dan red velvet cake-nya.

Ah, I envy you, Evan. Setidaknya dia nggak mesti diuber-uber sama Auntie Di dan Uncle Steve buat nikah. Nggak kaya aku yang berasa kaya supir angkot ngejar setoran. Poor me...

***

Third appointment

“Kareen, boleh aku memanggilmu begitu?” tanya Edgar, teman kencanku kali ini. Seorang news anchor di saluran televisi swasta nomor satu di Indonesia.

Aku tersipu dan mengangguk malu-malu.

Hey, bukannya aku sok manis atau apa, tapi pria di depanku ini benar-benar perfect. Aku yakin kalau kalian melihat rupanya kalian pasti akan ngiler. Wajahnya tampak seperti Adam Levine dan tubuhnya seperti Christiano Ronaldo. Dan please, jangan membayangkan potongan kepala Levine yang ditempelkan ke tubuh Ronaldo. No no no. Fisiknya membaur sempurna, seperti pesona Levine dan ketampanan Ronaldo yang dibaurkan dalam satu tubuh berjudul Edgar.

Calon Mama kali ini boleh! Boleh banget! Aku kasih nilai delapan puluh lima kalau modelnya begini.

“Aku suka pakaian yang kamu kenakan. Simple. Nggak terlalu terbuka dan nggak meng-expose tubuhmu secara terlalu berlebihan,” pujinya dengan sorot mata tulus yang lembut.

Ah, aku benar-benar tersentuh. Mama, calonmu yang kali ini beneran pengen langsung kuseret ke KUA deh... gemes...

“Makasih,” jawabku malu-malu meong.

Aku menunduk sambil berusaha meraih honeydew milk tea di gelasku, menyibukkan diri untuk menghilangkan kegugupanku. Sementara Edgar masih terus menatapku dengan sorot mata lembut dan senyum sejuta watt-nya yang membuatku bertanya-tanya apa giginya tidak kering tersenyum selebar itu.

God, senyumnya manis banget! Aku bisa kena diabetes lama-lama kalau ngeliat senyum itu terus.

Edgar tiba-tiba menyentuh tangan kiriku yang terkulai di permukaan meja, membuatku tersentak dan refleks memundurkan sedotan dari bibirku dengan tangan kananku.

Princess Love IssueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang