KAREEN
Kepalaku pusing sekali. Hal pertama yang aku rasakan ketika baru bangun.
Tenggorokanku terasa kering dan rasa mual menjalari tubuhku. Seems like I will throw up.
Aku segera menyibak selimut yang menutupi tubuhku dan berlari kecil ke pintu di sudut ruangan yang sepertinya adalah kamar mandi.
Dugaanku tepat. Memang kamar mandi.
Segera, aku berjongkok di depan kloset dan mengeluarkan semua isi perutku. Kepalaku berdenyut menyakitkan dan mataku sedikit berkunang-kunang. Sepertinya aku hangover.
Bicara tentang hangover, otakku memutar balik kilasan memoriku yang tersisa tentang kejadian semalam.
***
Aku menari dan meluapkan seluruh beban pikiranku selama ini, melampiaskan seluruhnya pada permukaan lantai dansa dan musik yang berdentum dengan tempo cepat.
Just like the old times, clubbing untuk menghilangkan seluruh beban pikiranku dan merilekskan sedikit tubuhku. Tanpa alkohol. Garis bawahi itu.
Tubuhku lemah dan sangat sensitif terhadap minuman itu. Dan aku selalu berhati-hati untuk tidak mengonsumsinya.
Bedanya, kali ini aku bukan di club atau di pub, tapi di acara selebrasi yang diadakan oleh kedua orang tuaku, ibuku lebih tepatnya.
Aku baru menyadari sesuatu. Kemana perginya para pria yang tadi sibuk pamer pesona dengan berdansa di dekatku? Kenapa satu per satu menghilang tanpa jejak? Aneh...
But, whatever. I don’t give a shit.
Irama lagu dengan tempo yang menghentak mengaburkan kepekaanku akan sekitar, tapi tiba-tiba mataku menangkap sosok seseorang, dua lebih tepatnya. Evan dan... Gina?
Mau apa Gina datang ke sini? Memangnya Mama mengundangnya juga? Dan... apa itu!? Kenapa tangannya meraba-raba dada Evan dengan gerakan yang provokatif seperti itu?
Rasa panas menjalari dadaku, aku sama sekali tidak suka pemandangan yang mampir di mataku. Kenapa Evan nggak langsung mendorong wanita itu saja sih!?
Melihat gelagat Gina yang menempel-nempel bak ulat bulu pada Evan benar-benar membuatku gerah! Iih, awas wanita itu nanti! Berani-beraninya menempel-nempel pada Evan-ku.
Sebentar. Evan-ku?
Kenapa wajahku mendadak memanas memikirkan kata itu. Evan dengan pernyataan kepemilikan -ku benar-benar terdengar sebagai sebuah sandingan yang pas.
Hush... apa-apaan aku? Evan itu adikku. Dan selamanya akan seperti itu!
“Hai, Kareen, right?” aku menoleh ketika mendengar sapaan itu dari arah sampingku.
Seorang pria dengan perawakan cukup tinggi dan wajah yang lumayan tampan, mengingatkanku pada wajah aktor lawas favorit Mama dulu, Arnold Schwarneger.
“Ya?” balasku bertanya. Aku tau aku terkenal —please, jangan protes akan hal ini— tapi aku sama sekali tidak mengenal sosok di hadapanku ini. Siapa dia?
“Senang bertemu denganmu. Ternyata, kamu secantik yang diberitakan di media.” hello? Adakah yang tau manusia di hadapanku ini hidup di jaman apa? Menguarkan gombalan yang so not up to date itu dan dia pikir bisa menggugah hatiku? For Channel’s sake , I’m VIP. Dan perlu dicatat, aku nggak akan mempan dengan model gombalan seperti itu. But, behave, girl. Tunjukkan kesopananmu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Princess Love Issue
ChickLit*first sequel of 27 to 20* Dua puluh tujuh tahun, cantik, cerdas, berbakat, dan belum mempunyai pasangan? Aneh? Tidak juga, kalau kamu menjadi Kareenina Divira Geovanni, putri sulung kesayangan Azkanio Geovanni. Dengan sang ibu sudah mendesaknya unt...