Nineteen

73.9K 3.2K 55
                                    

EVAN

Sempurna. Mungkin itu kata yang paling sesuai mendeskripsikan hidupku sekarang. Aku melirik ke sisi ranjang di sebelahku. Istriku, Kareen. Tengah terlelap dengan nyaman berbantalkan lenganku.

Mataku menyisir penuh pemujaan pada wajah istriku yang cantik. Wajah yang menemani pertumbuhanku dari seorang bocah ingusan sampai menjadi seorang pria dewasa. Mungkin bisa dibilang kalau Kareen adalah cinta pertama sekaligus cinta terakhirku. Dan please, aku tidak sedang mempromosikan sebuah lagu.

Aku menatap lagi pada wajah wanitaku. Pada bulu mata lebatnya yang panjang yang menaungi sepasang mata hitam yang tersembunyi di balik kelopaknya. Pipi tembamnya yang mulus yang selalu merona ria ketika kugoda. Bibir mungilnya yang selalu menggoda imanku setiap ia mengerucut lucu ketika kesal. Aku kembali mencuri sebuah kecupan kilat di bibir mungil itu.

Mata Kareen tiba-tiba bergerak pelan, meremas dan memejam sebelum terbuka lebar dengan binar polosnya memandangku.

“Morning kiss, my Sleeping Beauty.” Sebuah senyuman manis kuperlihatkan untuk menyapanya pagi ini.

Mata hitam itu mengerjap lucu dan memutar sebentar, meneliti seluruh penjuru ruang tidur kami sebelum terpaku lagi padaku.

“Van..? Err... aku kok bisa tidur di apartemen kamu?” tanyanya polos.

Tawaku pecah tanpa bisa kutahan. Sepertinya dia lupa kalau kami sudah menikah lebih dari sebulan. Penyakit lama Kareen, sulit fokus dan linglung ketika baru bangun tidur.

“Kita udah menikah, Princess. Remember?” jelasku di sisa tawaku.

Kareen memutar matanya cepat, tampak seolah-olah berpikir. Detik berikutnya —seperti biasanya— wajahnya merona lagi. Kembali kuhujani dua pipi tembam itu sebuah kecupan ringan. Ah, my mood-booster.

Aku mengelus puncak kepalanya pelan dan mendaratkan sebuah kecupan hangat di keningnya.

“Pagi,” sapaku mengulang ucapan selamat pagiku lagi.

“Pagi,” cicitnya halus, nyaris tak kedengaran. Aku tertawa renyah akan sikapnya yang polos. Istriku yang manis.

Kareen menyembunyikan wajahnya di balik selimut, hendak menutupi wajahnya yang merona. Detik berikutnya ia menyentakkan wajahnya dari balik selimut dengan raut panik. Sepertinya ia baru menyadari kepolosan tubuhnya di balik selimut. Kemudian, dengan gerakan malu-malu, Kareen menarik selimut sampai ke puncak kepalanya, menyembunyikan diri. Hal yang percuma. Karena aku tidak hanya sudah melihat, bahkan menghapal, setiap inci bagian tubuh wanita yang selalu menghiasi tiap hari dan malamku. Dramatis? Well, aku bukan penulis skenario sinetron, kalau pemaparanku cukup dramatis, mungkin aku bisa mempertimbangkan untuk beralih profesi.

Aku menarik pelan selimut yang menyembunyikan wajah cantiknya dan menatap dalam kedalaman mata hitam yang selalu membiusku itu.

“Apa rencanamu pagi ini, Princess?” tanyaku memulai pembicaraan.

“Hmm...” Kareen tampak berpikir sejenak, tak larut lagi dalam rasa groginya tadi. “Aku pengen berkunjung ke rumah Mama, Van. Boleh?”

“Sure. Aku akan mengosongkan jadwalku untuk itu. Aku juga sudah lama nggak berkunjung ke rumah Mama Maureen.”

“You will, Van?” tanyanya tak percaya.

Aku mengangguk pasti.

“Kalau begitu bagus banget. Jam berapa kita pergi?” tanyanya antusias, seperti seorang gadis kecil yang tak sabaran membuka kotak hadiah dari Santa Claus di hari Natal.

Princess Love IssueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang