Seventeen

71.3K 3.7K 110
                                    

KAREEN

Apa rasanya ketika pertama kali melihat namamu bersanding dengan nama lain dalam surat nikah?

Tak percaya? Aku benarkan itu. Belum lagi, nama yang bersanding dengan namaku adalah nama yang tak pernah terlintas di pikiranku.

Stevano Putra Leonard.

Adik kecilku sendiri.

Jantungku berdebar memikirkan kilas balik ketika kami mengucap janji sehidup semati itu di depan pendeta dan keluarga kami. Pernikahan di rumah sakit. Sungguh tak pernah terbayang, bukan? Bahkan dalam imajinasi terliarku pun tidak.

Tak ada pesta mewah bergaya kerajaan. Tak ada undangan teman-temanku yang akan memberi applause dalam jalannya pernikahanku. Bahkan tak ada Papa yang menuntunku berjalan ke altar. Papa-ku hanya terdiam di sana. Menatapku dengan senyum dikulum, sambil tersedak ludah!

Ludah! Ingatan menyebalkan sekaligus melegakan itu terputar lagi.

Tapi sudahlah. Yang paling penting Papa selamat. Bahkan sanggup merencanakan trip bulan madunya yang kesekian bersama Mama. Konyol! Papa-ku yang konyol.

Suara knop pintu yang terputar membuatku membelalakkan mata dan cepat menatap ke arah pintu. Ia berdiri di sana. Dengan pesona bagai Don Juan, tokoh fiksi asal Spanyol yang sanggup meluluhkan hati setiap wanita. Evan.

Adakah yang menjual stok jantung? Karena aku ingin memborongnya sekarang. Aku membutuhkannya ketika berhadapan dengan makhluk tampan ini.

Evan melangkah mendekatiku dengan piyama katun putihnya yang berpasangan dengan yang kukenakan. Sepertinya dia baru selesai mandi. Tetes air menetes dari ujung rambutnya, membasahi permukaan bahu piyamanya. Menambah kadar keseksiannya yang sudah meluap-luap.

Ya, piyama. Aku nggak mengenakan lingerie —walau kedua Mama-ku sudah sangat niat dengan memborong isi satu toko lingerie untukku— karena yah... it’s so old fashioned for a newly-wed couple nowadays. Please, di sini aku bukan mau menggoda Evan, jadi buat apa aku mengenakan kain kekurangan bahan seperti itu?

Evan mendudukkan diri di sisi ranjang tempatku duduk. Ia mengacak pelan rambutnya yang masih setengah basah. Cool. Membuatku sulit menelan ludah. Aku memilih menghindari menatapnya. Demi kesehatan jantungku.

“Melihat surat nikah, huh?” Aku mengangguk menanggapinya.

“Sulit dipercaya bukan?” sambungnya bertanya, membuatku menatapnya —akhirnya— dengan kening berkerut.

“Maksud kamu?”

“Yah... Kamu tau...” ia menggaruk tengkuknya, “menikah denganmu, kupikir hanya dapat terjadi dalam mimpi.”

Aku termangu. Apa maksud Evan?

“Kamu istriku sekarang, Reen. Aku mohon, apapun yang terjadi, kamu harus mempercayaiku. Apapun yang kamu mau, katakan aja padaku. Aku akan mengabulkannya sebisaku,” sammbungnya.

Aku terlarut dalam pikiranku. Evan berniat memberiku kebahagiaan sebisanya karena aku adalah istrinya sekarang. Bukankah aku juga seharusnya mengusahakan hal yang sama? Mengingat ia sudah menjadi suamiku sekarang.

Suami? Lucu sekali. Sepertinya baru kemarin aku mengikuti jadwal kencan buta Mama yang sangat ‘buta’ dan kini aku berada dalam kamar pengantinku. Bersama suamiku. Di rumah mertuaku.

Geez, memikirkannya membuat pipiku memanas.

“Van, kamu juga. Jangan sungkan-sungkan mengatakan padaku apa maumu. Aku akan berusaha mengabulkannya,” balasku sambil menunduk.

Princess Love IssueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang