KAREEN
“Jadi, namamu Kareenina?” aku mengangguk mengiyakan.
“Nama yang cukup bagus,” timpal Yudi —teman kencanku— yang seorang politikus.
Kesan pertama yang aku tangkap dari dia adalah tidak buruk. Mungkin, aku bisa mempertimbangkan memberinya nilai enam. Hanya saja problem utamanya adalah penampilannya yang cukup berumur, mungkin pembawaan dari profesinya yang bergelut di dunia yang membutuhkan pemikiran yang cukup serius, kontras dengan aku yang masih terlihat imut-imut di usiaku yang sudah hampir menyentuh tiga puluh tiga tahun lagi. Hey, dilarang protes, oke? Itu kenyataannya.
“Terima kasih, ” jawabku singkat disertai sebuah senyum simpul yang kupaksakan.
“Jadi, Kareen, apa hobby-mu?” Yudi membuka pembicaraan sambil menumpukan kedua tangannya di meja.
“Hobby-ku menonton drama Korea,” jawabku jujur.
Dia terlihat berdecih pelan, sesuatu yang tidak aku sukai. Minus sepuluh poin untuknya. Aku tidak suka pria yang suka berdecih di hadapanku, terkesan sangat tidak menghargai orang lain.
“Seharusnya kamu lebih banyak meluangkan waktumu untuk menonton berita politik, lebih berguna ketimbang menonton sandiwara picisan oleh lelaki-lelaki cantik itu. Belum lagi kehidupan politik kita yang sedang dalam masa membangun. Masyarakat sipil sepertimu juga harus terus mengawasi dan memantau pergerakannya, supaya bisa memberikan koreksi atas pemerintahan yang mungkin melenceng di kemudian hari sebelum terjadi akibat paling fatal.”
Aku melongo menatapnya. Yang benar saja? Dia menanyakan apa hobby-ku dan ketika aku menjelaskannya dia malah meremehkan hobby-ku?
Tenang, Kareen. Tenang. Mungkin memang sifatnya begitu. Maklum, kamu tengah berhadapan dengan seorang politikus. Bahasa yang ia gunakan pasti selalu lugas dan tajam. Tenangkan dirimu. Kendalikan emosimu, okay? Aku berusaha menenangkan batinku yang bergolak dengan amarah setelah mendengar ucapan politikus di hadapanku ini.
Dalam hati aku mencoret lagi dua puluh poin dari skor awalnya yang semula enam puluh minus sepuluh itu. Minus dua puluh karena tidak menghargai pendapatku.
Aku melirik Evan di meja seberang yang dapat mendengar dengan jelas pembicaraan kami dan terlihat sedang cekikikan tidak jelas. Pasti dia mau mengejekku sebentar lagi. Ughh...
“Lalu, apa pendapatmu tentang kabinet pemerintahan dewasa ini?” tanyanya lagi.
Aku mengernyit sejenak. Kabinet pemerintahan? Sejujurnya, aku tidak pernah memperhatikan tentang kabinet, parpol, RUU, RAPBN, atau apapun istilah kepemerintahan dan politik. Syukur-syukur aku bisa mengingat undang-undang pajak dan perdagangan, itupun karena kedua hal itu selalu ditekankan Papa kepadaku, sebagai salah satu bekalku meneruskan bisnisnya.
“Rumit? Maaf, tapi saya tidak pernah mengikuti perkembangan politik dan pemerintahan,” akuku jujur.
“Itulah kesalahan generasi muda sekarang ini, mereka tidak pernah memantau kinerja pemerintahan sehingga memberikan akses untuk oknum-oknum tertentu berbuat curang. Dan ketika kecurangan sudah terjadi, siapa yang mereka salahkan? Pemerintah. Karena mereka menganggap bahwa pemerintah tidak becus menangani masalah korupsi oleh pejabat pemerintahan dan korupsi seakan-akan menjadi merajalela dan terkesan mendarah-daging di kehidupan berpolitik kita.
“Padahal dalam penanganan masalah ini juga dibutuhkan kerja sama masyarakat luas untuk selalu membantu memantau dan mengamati keberlangsungan pemerintahan. Saya tidak bisa membayangkan jika semua generasi muda mewarisi sifat seperti kamu,” tutur Yudi panjang lebar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Princess Love Issue
Literatura Feminina*first sequel of 27 to 20* Dua puluh tujuh tahun, cantik, cerdas, berbakat, dan belum mempunyai pasangan? Aneh? Tidak juga, kalau kamu menjadi Kareenina Divira Geovanni, putri sulung kesayangan Azkanio Geovanni. Dengan sang ibu sudah mendesaknya unt...