Thirteen

69.1K 4K 128
                                    

EVAN

“Dasar anak nakal!” jerit Mama sambil menjewer kupingku dan mendorongku duduk di sofa ruang tamu. Pedas.

Tapi senyumku tak sedikitpun pudar meski jeweran Mama terasa menyakitkan di telingaku.

“Mama nggak gadaiin otaknya Evan kan? Dia jadi kaya orang stress gitu. Udah dijewer masih aja ketawa,” celetuk kakak kembarku yang rese minta ampun, Stevani.

Tapi telingaku seakan tuli pada celetukan Vani yang nyinyir sekalipun, aku sedang bahagia sekarang, dan tak ada yang bisa melunturkan senyumku. Kenapa mendadak aku jadi lebay seperti ini, sih? Ah, bodoh. Aku tak peduli.

“Sembarangan, kamu, Ni. Emangnya Mama ini ibu tirinya Cinderella apa? Tega berlaku sekejam itu,” jawab Mama.

“Lah, jadi itu kenapa dia senyum-senyum sendiri kalau otaknya nggak hilang, Ma?” tanya Vani sambil mendudukkan diri di sisi sofa di sebelahku.

“Mama tadi mergokin dia pas lagi berduaan sama Kareen di kantor, dengan posisi yang provokatif pula! Bayangin aja apa yang akan terjadi kalau Mama sama Tante Maureen nggak ngegerebek mereka!” cerocos Mama sambil berkacak pinggang.

Aku tak peduli pada jejeritan Mama. Di telingaku sekarang, bahkan pekikan dan jeritan maut Mama terasa seperti simfoni lembut yang meneduhkan hati.

Vani menoleh ke arahku sejenak. Detik berikutnya ia tersenyum penuh arti dan berpaling menatap Mama.

“Oh, jadi gara-gara Kak Kareen, nih? I see. I see,” ujarnya sambil mengangguk-angguk kecil, persis seperti pajangan boneka doggy di dashboard mobil.

“Huff... Pokoknya, Mama sama Tante Maureen udah mutusin! Kamu dan Kareen nggak boleh bertemu satu sama lain untuk menghindari terjadinya hal yang ‘iya-iya’. Istilahnya, kalian di-pingit. Dan kami juga udah mutusin kalau tanggal pernikahan kalian bakal dipercepat jadi dua minggu lagi. Kalian hanya boleh ketemu pas acara fitting baju dan memilih cincin pernikahan aja!”

Aku membelalak menatap Mama.

Yang bener aja! Dua minggu nggak ketemu Kareen! Mau jadi apa aku dua minggu nanti!?

“Lah... Nggak bisa begitu dong, Ma!” sergahku cepat.

“Kan kita bukan orang Jawa, Ma. Kok pake acara pingit segala!?” protesku.

Nah, kalau yang bagian pernikahannya dimajukan sih aku setuju pake banget. Tapi kalau nggak boleh ketemu sama Kareen selama seminggu? Aku akan sangat menderita nanti.

“Nenek Kareen dari pihak Om Azka kan orang Jawa,” jawab Mama.

Ah, benar. Aku melupakan fakta yang satu itu.

“Ini udah fix dan nggak boleh diganggu gugat. Pilih mana? Di-pingit atau batal nikah sekalian?” ancam Mama mengerikan. Bukan wajah Mama yang mengerikan, tapi kata-katanya itu loh. Batal nikah.

“Udah deh, Van. Ikhlasin aja. Dua minggu aja kok. Nggak bakal mati deh. Udah harga matinya si Mama itu.” Vani mengelus-elus pundakku pura-pura simpati.

“Yee... baru juga gue happy happy mau nikah sama Kareen. Nah, sekarang udah diputus aja kebahagiaan gue. Kagak boleh ketemu Kareen dua minggu. Bayangin, Ni! Dua minggu!” tegasku sambil mengacungkan jari telunjuk dan tengahku membentuk isyarat dua dan menunjukkan di depan wajahnya Vani.

Vani menepis tanganku dan mendelik tajam padaku.

“Lebay lo mah. Cuma dua minggu lagi. Bukan dua bulan apalagi dua tahun. Bayangin, Van. Setelah dua minggu kalian mau ketemuan, mau peluk-pelukan, cium-ciuman, kuda-kudaan, atau apapun bebas! Terserah kalian — Aw...” ringis Vani ketika jitakan manis Mama melayang di kepalanya, membuatku sukses tertawa lebar.

Princess Love IssueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang