Dua belas✍

3.9K 362 6
                                    

Adisty membersihkan ruangan yang berantakan karena ulah Rangga, tentunya dengan hati tidak ikhlas. Dia menatap Rangga yang masih belum sadarkan diri setelah ehm menciumnya secara tidak langsung.

"Awas lo kalo udah bangun, gue jitak kepala lo! Seenaknya nyium gue, iiihhhh anjirlah gue kepikiran terus gara-gara nih orang aneh." Adisty mengacak rambutnya sebentar, lalu kembali menyapu bekas pecahan vas bunga.

Setelah selesai Adisty meletakkan sapu di pojok ruangan, dia merebahkan tubuhnya di atas sofa yang tersedia di samping pintu masuk. Matanya melirik jam yang menunjukkan pukul dua pagi, entah kenapa dia tidak mengantuk sama sekali. Pikirannya melayang kembali kepada kejadian Rangga mengamuk tadi.

"Alesan dia ngamuk kenapa? Dan kenapa bisa nggak ada satpam atau suster yang dateng buat liat kerusuhan Rangga? Ini aneh." Adisty berdiri, dia membuka pintu dan melihat suasana koridor yang benar-benar sepi. Hanya ada beberapa suster yang masuk ke berbagai kamar sembari membawa papan catatan.

"Masih ada orang kok, tapi kenapa mereka nggak denger ada keributan di sini?" Adisty menutup pintu, dia kembali mendudukkan tubuhnya di sofa, tangannya meraih plastik di meja yang tersedia didekat sofa.

"Mending gue makan aja dulu abis itu tidur." Adisty pun memulai makan sembari telinganya yang tersumpal earphone .

Sedang asyik-asyiknya makan, tiba-tiba knop pintu menurun tanda akan ada orang yang masuk.

Cklek

"Permisi," Adisty menghela nafas lega kala melihat yang membuka pintu adalah suster. Bayangannya melesak seperti film horor yang sering dia tonton, tapi ternyata bukan.

"Loh ini kenapa lampunya gelap?" tanya suster itu bingung sambil mengedarkan pandangan.

Adisty meletakkan bungkusan pecel lelenya, "Saya nggak tau sus, lima menit lalu tiba-tiba lampunya mati sendiri. Dan infus saudara saya juga lepas. Mohon dibenarkan yaa."

"Maaf atas kelalaiannya, mungkin lampu ini sudah lama dan masa waktunya udah habis tapi belum diganti. Biar nanti pak satpam yang akan mengganti lampunya." ucap suster itu lembut.

"Iya gapapa sus." Adisty meminum air mineral di botol sambil berdiri, matanya memandang suster itu yang memasang kembali infus dan kemudian mencatat yang entah Adisty tidak paham.

"Kalau saya boleh tau, kenapa infusnya bisa lepas? Tidak mungkin kalau ini lepas sendiri." Adisty bingung harus menjawab apa.

"Emm... Itu.."

"Tadi dia marah sama saya sus, lalu dia yang melepas sendiri infusnya dan ingin pergi dari rumah sakit." Adisty menoleh ke sampingnya dimana Dika berdiri menjelaskan.

"Oh begitu. Tugas saya sudah selesai, saya permisi dulu Pak, mbak." Pamit suster itu.

Setelah itu keduanya duduk berbagi di sofa, hanya saling diam. Hingga satpam datang untuk mengganti lampu yang mati.

"Lampu sudah dibenerin mbak, Pak. Kalau ada kerusakan atau apa bisa segera melapor." Dika mengangguk sebagai jawaban dari ucapan satpam.

"Jadi.... Apa Om Dika bisa jelaskan kenapa Rangga bisa kayak tadi?" Tentu Adisty bertanya itu saat satpam sudah pergi.

Dika menatap Adisty sebentar lalu dia memalingkan wajah ke arah Rangga yang tertidur, "Kekuatan yang dia miliki akan hilang."

Adisty mengernyit bingung, "Maksudnya gimana?"

"Sepertinya Raden bukan sekali mengalami hal seperti ini, apa itu benar?" Dika menatap tajam Adisty.

Adisty kikuk, "Emm... I-iya. Ini kedua kalinya Rangga sakit demam karena makan es krim." Dika menghela nafas, dia sudah menduga.

QUERENCIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang