Sembilan belas✍

3.4K 313 11
                                    

Perlahan matanya mengerjap-ngerjap mencoba menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam retinanya setelah lama tertutup. Aroma obat-obatan mendominasi ruangan putih yang sudah pasti di ketahui oleh Adisty adalah rumah sakit.

Tangannya terulur menyentuh kepalanya yang terasa begitu pusing, juga sedikit meringis kala punggungnya begitu ngilu ketika dia mencoba bergerak duduk.

"Sshh..." Lagi-lagi ringisan keluar dari mulutnya karena punggunya yang benar-benar begitu sakit.

Cklek

Pintu kamar mandi terbuka dan menampilkan Jo yang baru saja dari kamar mandi. Setelahnya Jo berlari mendekati ranjang Adisty dan memencet tombol yang ada di dekatnya supaya dokter segera datang untuk memeriksa keadaan Adisty.

"Haus?" Adisty mengangguk.

Jo membantu minum Adisty dengan pelan dan hati-hati. Dalam hati lelaki itu sedikit tenang ketika melihat adik sepupunya ini sudah sadar setelah satu hari tidur panjang.

"Masih pusing banget Dis?" Adisty mengangguk, cewek itu menyenderkan tubuhnya di kepala ranjang. "Bentar lagi dokter datang, tunggu yaa..."

Adisty tak mengatakan apa-apa hanya gelegan kepala atau anggukan dia membalas ucapan Jo yang terus mengajaknya mengobrol.

Lalu tak lama dokter datang dengan beberapa orang di belakangnya yang tidak Adisty tahu siapa mereka.

"Halo adek, saya periksa dulu ya..." sapa dokter itu ramah, dalam hati Adisty tertawa  karena melihat dokter ganteng yang saat ini tengah memeriksanya.

Rejeki anak sholehah, bangun-bangun dari pingsan eh di periksa dokter ganteng heheheh

"Apa punggungmu masih nyeri? Masih pusing banget atau udah mendingan?"

"Punggung masih nyeri dok, kalau pusing tadi pas baru bangun pusing banget, sekarang udah mendingan." jawab Adisty dengan suara serak.

Dokter itu tersenyum sambil mengangguk, "Pusingmu itu efek dari kamu yang pingsan lama, dan untuk nyeri punggung nanti saya kasih resep gel pereda nyeri."

Semua orang di dalam ruangan itu diam mendengarkan penjelasan dokter mengenai kondisi Adisty, dan Adisty diharuskan untuk menginap satu hari lagi demi kesehatannya.

Setelah kepergian dokter fokus Adisty menatap beberapa orang yang ada di ruangan. Ada lelaki tua dengan kacamata dan tampilannya yang seperti orang kaya di sinetron yang sering dia tonton. Lalu ada sepasang suami istri dengan istrinya yang memakai jilbab dan terakhir ada seorang lelaki berumur 35 an kalau Adisty taksir dari penampilannya.

Tatapannya beralih kepada Jo yang tengah mengupas apel untuk Adisty, "Jo, Opa sama Oma gimana? Mereka baik-baik aja kan?" Kini raut wajah Adisty terlihat cemas. Dia teringat saat Opanya terkena peluru akibat ulah Rusdi.

"Mereka baik-baik saja, Opa mu di rawat di ruang sebelah setelah mengalami masa kritis karena kehabisan darah. Dan Oma mu tengah menunggui Opa mu." Bukan Jo yang menjawab, tetapi lelaki tua itu.

Wajah Adisty masih terlihat cemas, "Siapa anda? Dan gimana dengan Rangga, Jo? Terakhir gue liat dia kayak kesakitan gitu,"

Jo menatap Adisty bingung, "Rangga? Perasaan kemarin nggak ada Rangga deh. Oh iya merek-"

"NGGAK MUNGKIN NGGAK ADA RANGGA," Semua orang di situ terkejut karena Adisty tiba-tiba berteriak lalu terisak setelahnya.

Adisty ingin mencabut infusnya dan mencoba bangun dari ranjangnya, tetapi langsung di cegah oleh Jo juga orang-orang disitu.

"Lo mau ngapain?" Sentak Jo kepada Adisty.

"Gue mau nyari Rangga!"

"Nggak ada Rangga kemarin malem Adis!" tekan Jo dan masih menahan gerakan Adisty untuk mencabut infusnya.

QUERENCIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang