Delapan Belas✍

3.4K 313 18
                                    

Sudah lima hari Adisty tinggal bersama Oma dan Opanya. Meskipun di awal dia merasa aneh namun lama-kelamaan dia merasa nyaman berada di rumah ini, apalagi pasangan tua itu memberinya perhatian lebih.

Seperti saat ini, Adisty yang tengah duduk di ruang makan sambil menyendok makanan buatan Ana, dia membalas pertanyaan dari Opanya.

"Kuliah? Adis malah nggak pengen kuliah Opa, maunya nikah wkwkwkwk. Canda Opa hehehe"

Wirawan hanya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya, "Opa kira beneran, padahal kalo iya mau nikah Opa bakal nikahin secepatnya hahaha."

"Hus! Oma nggak setuju. Adis sayang, masa depan kamu masih panjang. Emang kamu nggak punya cita-cita menjadi apa gitu yang buat kamu minat untuk kuliah?" Ana yang tengah mengelap piring basah itu bertanya.

Adisty menelan makanannya, "Ada Oma, jadi istri idaman eakss,"  Ana bersungut mendengar jawaban Adisty sedangkan Wirawan tergelak dengan keras.

"Tau gitu Opa nggak perlu perawatan wajah kalau kamu saja bisa buat Opa ketawa biar awet muda hahahaha." ucap Wirawan yang dibalas dengan wajah cengo Adisty.

"Opa perawatan? Serius? Pantes aja mukanya glowing-glowing gimanaaa gitu. Beda sama Adis yang kucel." cebik Adisty.

Kini Ana yang berganti tertawa keras, dia bahkan mengebutkan lap piringnya ke meja, "Kamu tau Dis, Opa mu itu tiap ke salon di sindir sama pegawai situ. Katanya gigi udah rompong aja begaya mau muka glowing."

Adisty benar-benar merasa makin hidup sekarang. Dia bisa melihat pancaran kebahagiaan di mata Ana juga Wirawan meskipun mereka sekarang tengah menunjukkan ekspresi yang berbeda-beda.

"Adis udah selesai makan nih, langsung mau ke kamar aja belajar. Malam semuaaa" Adisty langsung menaiki anak tangga menuju kamarnya yang mana merupakan kamar ibunya dulu.

Ana dan Wirawan geleng-geleng kepala melihat tingkah Adisty.

"Dia mirip Amber, Mas. Tingkahnya benar-benar mirip." Wirawan mengangguk, dia menyetujui ucapan istrinya.

"Wajah manisnya pasti menurun dari Lay. Mas jadi ngerasa bersalah karena dulu tidak merestui mereka." Wirawan menunduk.

Ana mendekati suaminya dan memeluknya, "Semua yang sudah terjadi tidak perlu di sesali Mas. Ambil hikmahnya saja." Ana tersenyum manis kepada suaminya itu. Keduanya saling menyalurkan rasa cintanya melalui tatapan mata keduanya, hingga kegelapan membuat mereka terhenti.

"Mas kenapa lampunya mati? Apakah ada pemadaman lampu?" Tanya Ana panik, karena dia paranoid dengan gelap.

"Tenanglah Ana, Mas ada disini." Wirawan berdiri dan mencoba berjalan menuju ruang tengah untuk mencari lilin di almari dekat televisi.

Cklek.

Suara pintu yang terbuka dari arah ruang tamu membuat Ana dan Wirawan berhenti melangkah seketika.

"Firasatku tidak enak, Ana. Sebaiknya kamu bersembunyi, cepat." Bisik Wirawan. Ana yang ketakutan itu mulai bergetar tetapi tak urung dia pun mencari tempat persembunyian.

Seketika lampu menyala.

Ana berhenti melangkah, sedangkan Wirawan berdiri kaku di tempatnya. Di depannya kini ada beberapa orang berpakaian serba hitam dan menodongkan senjata api kepadanya juga istrinya.

"M-mau apa kalian?" tanya Wirawan mencoba terlihat biasa.

"Membunuh mangsaku," seseorang muncul dari belakang salah satu pria berbadan tegap. Lelaki itu berjaket hitam tak lupa topi koboi nya yang dia kenakan di kepala.

QUERENCIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang