10

562 24 0
                                    

***

Selepas ia bertemu dengan Abiyu, Nanda, dan Galang, Naura langsung melajukan mobilnya menuju Rumah Sakit. Dengan napas berat ia melangkahkan kakinya.

Sesampainya di depan pintu kamar Dinda, ia melihat Ningsih dan adiknya sedang bercanda ria. Bibirnya ikut menarik garis senyuman. Seakan semua bebannya langsung terangkat hanya dengan melihat keduanya bahagia.

Baru beberapa langkah Naura akan mendekati Dinda, notifikasi di ponselnya membuatnya menghentikan langkah kakinya.

Di bibirnya, mengembang senyum yang lebar dan helaan napas ringan dari dirinya.

Uang sebesar Rp 100.000.000,- masuk ke dalam rekeningnya.

Naura membalikkan badannya untuk segera mengurus biaya administrasi sang adik.

Tak lama, ponselnya berdering.

Sebuah nomor tak dikenal memanggilnya.

Ia mengangkat panggilan yang masuk itu dengan ragu.

"Hallo..."

Hallo, Naura..

"Iya? Ini siapa, ya?"

Abiyu.

"Oh, iya, Abiyu... Hm, makasih banyak, uangnya udah masuk ke rekening gue."

Gue bukan mau bahas itu.

"Terus?"

Lo bisa kerja mulai besok?

"Besok? Tapi, bukannya dua hari lagi?"

Ada yang perlu dipersiapkan. Lo bisa dateng besok, sekalian bawa barang-barang lo.

Sejenak, Naura terdiam, ia bingung dengan apa yang baru saja didengar."Barang-barang gue?"

Iya, lo bakal tinggal bareng sama gue. Lo lupa? 'Kan tertulis di kontrak.

Dengan cepat, Naura membuka dokumen perjanjiannya dan membacanya ulang.

...selama perjanjian ini berlaku, pihak B – yang berarti Naura, akan bersedia untuk tinggal bersama pihak A.

Deg.

Naura ceroboh. Ia melewatkan bagian itu.

Hallo?

Dengan berat Naura harus menjalani kontrak yang sudah ia tanda tangani. Tidak mungkin juga ia harus membatalkannya, sedangkan Dinda juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

"Oke, besok gue dateng. Kirimin aja alamatnya," balas Naura.

Oke, gue tunggu.

Klik.

Panggilan terputus.

Naura benar-benar meratapi kecerobohannya.

-

Setelah selesai mengurus biaya administrasi, Naura kembali ke kamar Dinda. Di sana, ia sudah disambut dengan senyuman sang adik yang akan ia rindukan selama beberapa bulan ke depan.

"Gimana kabar kamu, Din?"

Dinda tersenyum,"Berkat kakak, aku baik-baik aja."

Naura ikut tersenyum.

"Ibu gimana kabarnya?" tanya Naura pada Ningsih.

"Baik, Nak," balas sang ibu dengan nada lembut.

Perlahan, senyum Naura mulai menghilang. Dengan sedikti ragu, ia berusaha untuk memberanikan diri berbicara pada ibu dan adiknya.

"Bu," panggil Naura ragu.

"Iya?"

"Selama tiga bulan ke depan, mungkin Naura gak bisa nemuin Ibu dan Dinda."

Ningsih kaget,"Kenapa?"

"Naura ada perjalanan bisnis."

"Tiga bulan, kak?" tanya Dinda.

Naura mengangguk.

"Untuk biaya hidup sehari-hari, udah Naura kirim ke rekening Ibu, ya."

Ningsih menyentuh pundak sang anak perempuan pertamanya,"Kamu jangan khawatir, Naura. Kamu yang harus jaga diri baik-baik di sana. Kamu dinas ke mana?"

"Ke luar kota, bu. Kemungkinan ke Sulawesi."

Dinda menghela napas berat, ia terlihat berat untuk melepas kepergian sang kakak.

"Tenang aja, nanti kakak bawain kamu hadiah."

Senyum Dinda mengembang.

"Hati-hati di sana ya, kak."

Naura mengangguk sambil memandangi sang adik yang sudah bisa lebih banyak tersenyum. Senyum yang sempat hilang selama Dinda sakit, kini sudah kembali.

Bagi Naura, tidak ada yang jauh lebih berharga dari senyum kedua orang yang ia sayangi. Meski, harus jalan penuh duri yang harus ia lalui. Asalkan keluarganya, bisa terus bahagia.

TogetherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang