***
Hari ke-60.
Pagi ini, adalah hari yang begitu spesial. Abiyu membawakan sebuket bunga aster hari ini. Dengan mengenakan jas hitamnya, ia terlihat begitu tampan dan menawan. Ia juga memakai minyak wangi sebelum mengunjungi Naura.
"Maaf, ya, Na. Gue gak tau lo suka bunga apa. Tapi, setiap hari gue bawa bunga yang beda-beda, kok, Na," ucap Abiyu sambil mengganti bunga di kamar Naura.
"Na, ini hari terakhir lo jadi pacar gue. Hari ini, kontrak kita berakhir. Lo gak mau perpisahan sama gue? Lo gak mau ngerayain ini sama gue?" Abiyu berbicara dengan nada penuh frustasi.
"Apa lo gak kangen gue?" tanyanya pada Naura yang masih belum sadarkan diri.
"Bisa gak kita mulai semua dari awal? Perkenalan kita. Kebersamaan kita. Dan, semuanya."
"Maaf, gue belum sempet nanya apa makanan kesukaan lo, apa warna favorite lo, dan apa hal-hal yang lo sukai. Maaf, gue belum bisa jadi pacar yang baik buat lo. Maaf, selama jadi pacar, yang gue lakuin cuma bisa nangis di samping lo."
Abiyu kembali menangis.
"Kalo nanti lo kembali, boleh 'kah gue kembali jadi pacar lo? Untuk menebus semua waktu yang hilang dan semua hal yang belum bisa kita lakuin."
"Apa gue bakal punya kesempatan itu?"
"Apa lo akan memberi gue kesempatan itu?"
Abiyu memegang tangan Naura, dan menundukkan wajahnya.
"Gue cuma minta lo kembali, Na. Entah lo akan kembali sama gue, atau kita kembali jadi orang asing. Gue gak perduli. Asal 'kan lo kembali.."
Dari luar jendela kamar, Amzari sedang memandangi anak laki-lakinya yang selalu menyisihkan waktunya untuk menjenguk Naura di sini, di setiap harinya.
Ia membuka pintu kamar dengan perlahan, dan menepuk pundak Abiyu.
Abiyu mendongakkan wajahnya menatap Amzari yang tengah tersenyum.
"Makan, yuk!" ajak Amzari.
Abiyu bangkit dan berjalan di belakang Amzari.
Beberapa bulan terakhir, hubungan antara anak dan ayah ini memang sedikit membaik. Hampir tidak pernah bersitegang seperti sebelumnya. Entah Amzari yang melunak, atau 'kah Abiyu yang sedang tidak punya kekuatan untuk berdebat dengan Amzari.
"Naura pasti bangun," ujar Amzari sambil memegang tangan Abiyu, setelah keduanya memesan makanan di kantin rumah sakit.
Abiyu yang sedang menunduk langsung menatap mata Amzari.
"Ada yang mau Papah tanyain."
"Ada yang mau Abiyu tanyain."
Keduanya mengucap dua kalimat berbeda secara bersamaan.
"Kamu duluan," kata Amzari.
Abiyu membenahi posisi duduknya sebelum akhirnya ia angkat bicara,"Papah kenapa?"
Amzari mengernyitkan dahi.
"Kenapa, apanya?"
"Kenapa Papah perduli sama Naura? Sejak masuk Rumah Sakit, Papah yang ngurusin semuanya. Sampai mau jadi walinya. Padahal, awalnya, Papah yang paling menentang Abiyu dan Naura," tanya Abiyu.
Amzari menarik napas panjang,"Setelah apa yang kamu alami, dan melihat kamu sesedih ini sekarang. Papah yakin kamu benar-benar mencintai dia. Selama ini, Papah memang terlihat keras dan kasar ke kamu. Tapi, Papah gak bisa ngeliat kamu sedih kayak gini. Bagaimana pun, kamu itu anak Papah, Abiyu," jelas Amzari.
Abiyu hanya diam.
"Papah akan berusaha untuk melakukan apa pun untuk bikin kamu bahagia."
Perlahan, tetes demi tetes airmata turun dari pelupuk mata Abiyu.
"Selama ini, Papah selalu tegas sama kamu, biar kamu bisa yakin sama semua pilihan kamu. Apapun itu. Kalo kamu tanya, apa Papah percaya sama kamu? Jawabannya, iya. Papah selalu percaya dengan apapun keputusan yang kamu ambil. Setiap kali kamu pergi dari rumah dengan penuh emosi karena Papah, Papah selalu tersenyum di belakang kamu, Bi. Tiap kali bisa bikin kamu marah, Papah ngerasa menang. Tapi, kalo Papah bisa bikin kamu nurut sama permintaan Papah, malah Papah sedih. Sikap keras kamu selama ini udah nunjukkin bahwa kamu bisa bertanggung jawab dengan apapun yang ada di tangan kamu. Dan, Papah bangga," lanjut Amzari.
Tak terasa, pipi Abiyu sudah banjir dengan airmata.
"Soal Cika... Papah memang berharap kamu bisa bersamanya. Dan, Papah akui sempat marah karena kamu mempermalukan Papah hari itu. Tapi, Papah tetap sayang kamu, Bi."
Abiyu menyeka airmatanya.
"Papah selalu sayang kamu.. Sekarang, dan selamanya..."
Amzari mengusap pucuk kepala Abiyu. Anak laki-lakinya yang kini sudah tumbuh dewasa. Rasanya, ia tidak memiliki banyak waktu lagi untuk memperlakukan Abiyu seperti ini. Karena, kelak, ia harus melepaskan Abiyu untuk hidup bersama orang yang ia cintai.
"Tadi, Papah mau tanya apa?"
Amzari sedikit salah tingkah saat Abiyu bertanya padanya.
"Hmm, Papah..." Amzari sedikit ragu untuk mengatakannya. "Kamu benar-benar cinta dia?"
"Siapa?"
"Naura."
Abiyu sempat berpikir sejenak sebelum menjawab pertanyaan dari Amzari. Ia mengingat kembali bagaimana ia bisa menghabiskan waktu dengan Naura. Meyakinkan kembali dirinya dengan apa yang akan ia ucapkan nanti.
"Iya," jawab Abiyu singkat.
Amzari tersenyum.
"Kenalin dia ke Papah nanti, ya," pinta Amzari dengan senyum di wajahnya yang mulai terlihat kerutan itu.
"Papah gak mau tanya tentang dia? Dari keluarga mana? Atau, dia orang seperti apa?"
Amzari tertawa kecil.
"'Kan, Papah bilang... Papah selalu percaya pilihan kamu. Apapun itu. Sekarang, semua pilihan ada di tangan kamu."
Perlahan, Abiyu tersenyum lega. Ia merasa telah kembali 'pulang' setelah tersesat dari keegoannya selama ini.
Tapi, tiba-tiba, senyumnya menghilang saat ia memikirkan Naura saat ini.
Apa dia juga punya rasa yang sama kayak gue ke dia? Apa dia akan menerima gue lagi? Atau, apa dia akan memutuskan untuk pergi dan mengakhiri semuanya di sini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Together
Teen Fiction"Dia tuh, cuma keliatan kuat di luarnya doang. Dalemnya mah sebenernya berantakan. Mata ketawanya dia, bahkan jauh lebih menyakitkan dari airmatanya. Dia sebenernya cuma pura-pura baik-baik aja. Sebenernya mah, rapuh dan hancur. Karena ngerasa gak a...