Empty 3

3.2K 387 44
                                    

Sejak lulus SMA, aku mendaftar kuliah malam. Bukan tanpa alasan. Aku rencananya akan mencari pekerjaan agar suatu saat nanti bisa mengantikan posisi ayah.

Aku sudah memikirkan ini sejak lama. Bunda sering merasa kesepian semenjak Ayah dipindah bekerja keluar kota. Meskipun secara jabatan Ayah naik, kurasa kebahagiaan Bunda lebih dari kekuasaan.

Bersyukur aku diterima menjadi seles marketing di panca Properti.
Meskipun aku dekat dengan Om Ridwan, tapi aku tetap menjalani wawancara kerja dan melakukan berbagai test seperti yang lain.

Sampai dua tahun kemudian, akhirnya Ayah ditugaskan kembali ke Jakarta. Kami senang tentu saja, apa lagi Bunda. Melihat Bunda selalu tersenyum setiap pagi sambil bercengkrama dengan Ayah membuat hatiku luar biasa hangat. Pemandangan yang tidak lagi kulihat sejak Kak Fira meninggal.

"Gav, Hari ini kamu libur, kan?"

Aku mengangguk dan meletakan kepalaku di atas pangkuan Bunda.

Alat pengukur waktu menunjukan pukul delapan pagi, Ayah sudah berangkat, sedangkan Bunda sedang menonton Tv di ruang tamu.

"Bawa Gendis ke sini ya, Gav. bunda kangen pengen ketemu."

"Hari ini jadwal Gendis terapi, Bun," jawabku dengan mata terpejam.

"Jam berapa? Bunda ikut, ya?"

Aku yang dengar Bunda hendak ikut ke rumah sakit langsung menegakan badan, pandanganku menyipit lihat Bunda yang menatapku bingung.

"Nggak boleh! nanti malah bunda pingsan, gantian dirawat di sana."

“Doa kamu ini," Bunda berujar sambil menepuk lenganku, "Bunda enggak takut lagi kok masuk rumah sakit. Kamu enggak ingat siapa yang nungguin kamu waktu dirawat dulu karena patah hati?"

Bibirku mencibir lihat Bunda tiba-tiba tergelak "typus Bun, bukan patah hati. Enak aja!"

"Tapi kan awalnya karena apa? Patah hati lihat Gendis pacaran sama Bintang? jadi suka ngelamun, makan nggak mau, mandi males. Jadi Typus, kan?"

 "Itu karena aku kecapean, harus banyak belajar menjelang ujian."

"Ahh, bukan belajar buat pengalihan patah hati, ya?"

Aku mendengus mendengar ucapan Bunda. Meski memang yang dikatakan Bunda tak sepenuhnya salah. Tapi aku banyak memang harus banyak belajar untuk ujian, aku tidak ingin mengecewakan Bunda dan Ayah.

"Bunda jadi nyebelin sekarang," ucapku lalu bangkit dari sofa, "mandi terus siap-siap kalau mau ikut," lanjutku meminta Bunda agar siap-siap.

"Kita naik apa?" tanya Bunda saat badanku sebentar lagi masuk dalan kamar.

"Motor lah."

"Nggak pesan taxi aja?" tanya Bunda setengah teriak.

"Bunda enggak usah ikut kalau gitu".

E M P T Y

          Yang membuatku sedikit malas mengajak bunda naik motor, adalah beliau tidak akan berhenti ngomel karena mengomentari caraku membawa motor. Dulu katanya semasa muda, saat Bunda dan Ayah pacaran, Bunda tidak pernah dibonceng dengan kecepatan tinggi. Berbeda jika aku yang membonceng beliau.

EMPTY   Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang