Empty 17

2K 374 48
                                    



       Seperti yang dikatakan Gavin kemarin lusa. Malam harinya, dia sudah sampai di Jakarta lagi.

Sampai akhir pekan ini rencananya dia belum akan kembali ke Karawang, tapi sebagai gantinya dia harus mengerjakan kerjaanya di rumah.

Seperti sekarang meski hampir tengah malam, dia masih sibuk di depan laptopnya.

Aku sebenarnya sudah ngantuk, tapi lihat dia yang masih sibuk dan tampaknya kerjaan menjadi menumpuk, kuputuskan untuk menunggunya.

"Tidur dulu,  gih!" pintanya meski masih fokus pada laptop.

Aku mengeleng, sambil meminum Coklat hangat yang dia buatkan beberapa menit yang lalu. "Nunggu kamu selesai aja"

"Tidur sayang, besok pagi harus bangun pagi, loh. Kamu mau dinikahan Dino ngantuk-ngantuk?"

Esok adalah hari pernikahan Dino dengan Lala. Semua orang sudah sibuk mempersiapkan diri sedari kemarin, termasuk Mama yang hari ini menginap di rumah Om Rahman untuk membantu tante Riyanti.

Jadilah Gavin yang malam ini menginap di rumah menemaniku.

Sejujurnya aku cukup takut menghadapi hari esok, sebab sampai sekarang Gavin belum tahu kalau Bintang sudah kembali, aku takut jika Gavin tahu bahwa beberapa kali kita sempat tak sengaja bertemu.

"Ada apa?"

Aku terjengit kaget saat tiba-tiba tangan Gavin sudah berada di puncak kepalaku, membuat gerakan mengusap beberapa kali.

"Nggak ada, emang kenapa?"

"Kamu banyak ngelamun belakangan ini?"

Aku sendiri bahkan tak sadar kalau sedari tadi aku melamun.

"Cuma nggak nyangka, Dino sebentar lagi nikah," ujarku tersenyum, "Kita dulu bagaikan dua orang yang nggak terpisahkan."

"Kamu nggak akan kehilangan dia, kalaupun kamu ngehubungin dia, kapanpun itu, dia pasti akan selalu ada. Tapi kamu juga harus ingat batasan. Selain kamu, Lala sekarang akan menjadi lebih jadi prioritas Dino, dan aku yang bakalan jadiin kamu prioritas. Ngerti?"

Aku mengangguk sambil tersenyum.
Ya, sekarang aku harus lebih menjaga jarak dari Dino, bagaimanapun dia sudah akan menjadi suami Lala.
Tidak seharusnya aku mengandalkan Dino mulai sekarang.

"Percaya nggak? Terkadang aku masih suka cemburu kalau kayaknya Dino lebih mengerti banyak hal tentang kamu dibanding aku."

Perkataan Gavin membuatku mengeryitkan dahi "Serius?"

Kepala Gavin mengangguk mantap, laptop yang sedari tadi di pangkunya sudah beralih ke atas meja.

"Dino lebih banyak tahu apa yang nggak kamu suka dan apa yang kamu suka, kapan waktu kamu butuh sendiri dan kamu mau ditemani."

"Dia kenal aku dari kecil, kami dekat benget dari dulu, Gav," ungkapku kemudian agar Gavin tidak khawatir.

"Hm, Dino yang nemenin kamu dari kecil, tapi aku yang akan nemenin kamu sampai tua," ujarnya dan langsung memelukku.

Di pelukannya aku mengangguk, berusaha meyakinkan hati, jodoh bukan hanya perkara bagaimana hatiku saja. Dari awal aku menerima Gavin, artinya aku harus benar-benar memberi hatiku untuknya.

Sudahlah, jika Bintang saja sudah mengikhlaskan masalalu kami.

Maka aku juga pasti bisa.

Bibirku tertarik merasakan wangi tubuh Gavin, wangi yang sudah menemaniku dua tahun ini.

EMPTY   Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang