Empty 44

2.2K 417 82
                                    


Pura-pura Lupa __ Mahen

Pergi yang kumaksud adalah, Bintang benar-benar menjauh mulai dari hari itu. Tidak ada lagi kabar atau  tiba-tiba dia datang seperti biasanya.
Dia membentengi diri, sama seperti yang dia lakukan setelah kami bicara di rumah sakit waktu itu.

Ya sudah.

Ku pikir memang jalannya begini.
Aku memutuskan tidak lagi membangun komitmen untuk sekarang. Bukan karena aku nggak bisa memaafkan Gavin, aku sudah melupakan itu. Tapi urusan komitmen, aku seperti takut untuk gagal lagi.

"Kamu yakin ke sana sendiri?"

"Iya, Ma."

"Tapi nanti langsung pulang, kan? Langsung kabarin Mama kalau ada apa-apa, ya!"

Untuk kesekian kalinya aku hanya bisa menghela napas dalam.
"Ma, aku ini cuma mau ke rumah Bunda, loh, dulu kan biasanya juga Tiwi ke sana enggak apa-apa, kan?"

"Wi, itu kan dulu, sekarang berbeda."

Emang beda, kalau dulu aku masih sama Gavin tapi kali ini aku datang sebagai orang lain. Hari ini aku berencana ke rumah Gavin untuk mengembalikan barang-barangnya dan memberikan kado pernikahan untuknya dan Hana, sekaligus aku ingin pamitan, aku berencana untuk menjalani pengobatan di Singapura.

Ini sudah sangat terlambat.
Aku tahu.

Aku datang menemui mereka setelah hampir dua minggu pulang dari Jogja.

"Tiwi langsung pulang kalau urusannya udah kelar nanti," janji ku meyakinkan Mama.

Aku menghembuskan napas kasar saat hendak memasuki pekarangan rumah Gavin. Dulu biasanya aku akan melangkah ringan jika ke sini, tapi sekarang rasanya jadi beda. Ada rasa gugup dan sedikit takut entah karena alasan apa.

Aku menunggu pintu dibuka dengan perasaan cemas, padahal aku sudah menyiapkan hati dari kemarin.

Suara pintu berdecit, aku mengangkat kepala ketika sebuah suara menyapaku.

"Pertiwi,!"

"A... Ayah," aku mencium pungung tangan ayah setelah mengucapkan salam.

"Kamu sama siapa, Wi?"

"Sama Pak Mus, Yah," jawabku sembari menoleh ke belakang, menunjuk Pak Mus yang sedang mengeluarkan kardus dari bagasi.

"Masuk, ayo, Wi. Bundamu di dalam"
Aku ngangguk sopan dan mulai masuk ketika Ayah bukain pintu.

Keadaan rumah cukup sepi. Aku nggak berani nanya kemana Hana. Yang jelas ini masih jam kerja Gavin, biasanya dia pulang menjelang pukul tujuh malam.

"Bun, ada tamu!" seru Ayah begitu aku menyeret tongkat ku masuk.

Ayah kembali memanggil Bunda, kemudian ikut duduk tepat di sebrang ku.

"Kamu apa kabar, Wi?"

Senyumku terukir tipis dengar pertanyaan Ayah "Baik, Yah. Ayah sama Bunda apa kabar?"

"Bunda baru sembuh dari sakitnya. Sekarang udah sehat, udah sibuk bikin kue lagi."

Pembawaan Ayah yang selalu bersikap tenang dan berwibawa, benar-benar bikin aku nyaman meski kami baru saling mengenal dekat tiga tahun ini.

"Bunda sakit?" tanyaku kaget.

"Loh, Pertiwi?"

Aku langsung noleh ke sumber suara.
Bunda keluar dari dapur bersama dengan Hana.

"Bun," sapaku sopan sembari mencium pungung tangan beliau, "Kata Ayah Bunda sakit, sakit apa?"

Dalam pelukan Bunda, kurasakan bunda mengeleng pelan sambil menepuk ringan bahuku.
"Jangan percaya Ayah," jawabnya sembari melepas pelukan kami "Kamu sehat, kan?"

EMPTY   Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang