Empty 29

2.4K 485 289
                                    

Sudah siap? Part ini puncak konflik, jadi siapkan hati


Ada beberapa orang yang akan mengunakan topeng untuk menutupi luka hatinya. Bukan supaya orang lain menganggapmu hebat, tapi kamu hanya sedang kehabisan cara untuk menyembunyikan lukamu dengan tangisan.

Tapi peduli apa?

Terkadang orang mudah sekali menyepelekan sesuatu yang kita anggap sulit dan rumit.

Padahal, Setiap orang punya cara sendiri menghadapi lukanya, setiap orang punya titik rendah masing-masing yang tentu tidak bisa disamakan dengan orang lain.

Aku tahu, selain aku, kalian juga pernah merasakan ini.
Ketika kamu sulit memberikan kepercayaanmu pada siapapun karena seringnya dikecewakan, lalu berjalannya waktu kamu mampuh letakan kepercayaanmu pada seseorang, berharap orang itu mampuh menjaga seluruh hatimu, tapi kenyataanya dia sama.

Sama saja.

Dengan dia, seseorang yang pernah berjanji membawamu dalam dunianya.

Nyatanya, tidak ada ketulusan yang benar-benar tulus.
Manusia punya egonya. Tidak ada yang benar-benar abadi didunia yang tidak abadi ini.

Aku harus melalui proses hancur, sehancur-hancurnya supaya Mama dan Papa bisa melihatku sebagai anak. Padahal orang lain dengan mudah mendapatkan itu tanpa proses yang semenyakitkan ini. Dan, ketika aku berhasil melalui itu, kupikir hidupku akan menjadi lebih baik.

Nyatanya, satu lagi kepahitan yang harus kurasakan. Dan mungkin aku juga harus bersiap untuk kepahitan yang lain nanti.

Entah bagaimana jalannya nanti, kupastikan aku akan melewatinya dengan topeng yang sudah kusiapkan sedari dulu.

Topeng kebahagiaan, yang kututupi dengan kejahilan, kenakalan dan aktivitas yang akan ku buat sebanyak mungkin supaya tak ada lagi waktuku menangisi takdir.

Proses pendewasaan ini akan kunikmati dengan caraku sendiri.

"Kenapa Mama sayang banget sama Gavin?"

Aku yang sedang merebahkan kepalaku di pangkuan Mama, mengungam lirih menghadap televisi. Sedangkan tangan Mama sibuk merapikan rambutku yang aku yakin nggak berantakan.

"Mama sayang sama Gavin kayak Bunda sayang sama kamu, Wi. Bukannya itu wajar?"

Wajar, karena Mama nggak tahu apa yang terjadi kemarin. Bagaimana aku semakin terlihat kerdil karena Gavin membentakku dengan kata-kata yang cukup membuatku kaget dan terbebani.

"Kamu mau cerita sama Mama?" tanya Mama, mungkin karena beliau tahu ada yang kusembunyikan darinya.

Menghela napas, aku kemudian mengangguk dan menceritakan semuanya. Selama aku bercerita, Mama lebih banyak diam, beliau mendengarkan ceritaku tanpa memotong.

"Pertiwi ngerasa keputusan Tiwi menerima lamaran Gavin adalah kesalahan, Ma," ucapku setelah menceritakan kejadian kemarin di apartemen milih Hana.

"Tapi kan kamu belum dengar alasan Gavin, apa lagi tadi kamu bilang temannya sedang pingsan. Kamu bisa bayangin kan betapa paniknya Gavin nemuin temannya dalam kondisi begitu. Perumpamaan lebih gampang lagi, gimana paniknya Dino lihat kamu terluka dulu."

"Tapi aku dan Dino saudara sepupu, Ma." jawabku kemudian. Tentu aku dan Dino beda antara Gavin dan Hana. Mereka teman yang nyaris dijodohkan.

"Ya, siapa tahu mereka benar-benar teman dari kecil. Lebih dari saudara, kan mungkin saja, Wi," ujar Mama sembari menatapku geli.

"Mama tahu kamu sedang cemburu, tapi nggak semua hal bisa kamu hadapi dengan amarah, kan? Coba dulu nilai segala sesuatu dari sudut pandang orang lain," lanjut Mama yang bikin aku semakin cemberut.

EMPTY   Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang