Empty 19

2K 363 44
                                    

Gendis Pov

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Gendis Pov.

Kami hanya saling diam sembari menatap gelapnya langit malam ini, gerimis kecil membasahi kami yang sibuk dengan pikiran masing-masing.

Tadinya aku merasa tak nyaman berdua dengan Bintang begini, tapi karena sejauh ini kami hanya saling diam, lama-lama aku menjadi rileks sendiri.

"Masih ada kesempatan kan, Dis?"

Ucapan Bintang membuatku menoleh padanya, tapi tatapan Bintang masih lurus memandang ramainya jalanan Ibu kota, sama sekali tak melihatku.

"Nggak, ya?"

Sewaktu dia mengulang pertanyaannya, baru dia menoleh, kemudian senyum tercetak tipis dari wajahnya.

"Kesempatan buat apa?"

Bintang tidak menjawab, dia nunduk dengan bahu yang merosot.

"Dari awal emang aku yang salah, ninggalin kamu dalam keadaan terpuruk dan aku penyebabnya."

Sekarang giliran aku yang menghembuskan napas keras. Mengingat hal ini membuat hatiku mendadak sakit.
"Nggak perlu menyalahkan siapapun Bin. Semua yang terjadi udah  jalanku," ujarku yang dibalas Bintang dengan mengalihkan pandangan lagi.

Aku berujar dengan suara yang bergetar.

Sangat menyedihkan.

"Kalau saja waktu bisa diputar kembali, aku nggak akan pergi. Hari itu sebenarnya aku juga ragu, entah kenapa. Seperti akan ada sesuatu yang hilang saat pesawat take off. Tapi aku bingung, kamu dan cita-citaku sama pentingnya. Aku nggak bisa ngecewain Ayah, tapi aku juga takut kamu nggak nungguin aku."

Kini aku yang mengalihkan pandangan, rasanya sakit sekali Bintang bicara begitu. Dia tidak tahu apa yang kurasakan selama ini.

Bagaimana caraku menghadapi hari-hari sendirian tanpa dia.
Dua tahun aku sudah terbiasa menghadapi masalah dengan Bintang.
Dia menemaniku di masa-masa sulit bersama keluargaku.
Tidak mudah bagiku menghadapi ini sendirian.

"Aku harap, aku nggak benar-benar kehilangan kamu, Dis," lanjutnya lirih.

Tak terasa setetes air mataku dengan lancang malah keluar saat aku berkedip.

"Aku mau nikah," jawabku agar Bintang sadar bahwa memang tak ada yang bisa diperbaiki lagi.

"Aku tahu, tapi seperti ucapanmu dulu. Perkara jodoh ini bukan cuma urusan kita aja, Tuhan punya jalan kalau memang kita berjodoh. Dan, aku sedang memintanya pada Tuhan, Dis."

Ucapan Bintang seketika membuatku langsung menoleh padanya.
Sungguh tak habis pikir dengan jalan pikiran Bintang.

Aku mengangkat jari manisku, memandangnya agar Bintang juga lihat, "Ini adalah bukti, aku akan menjadi milik Gavin. Jadi berhenti meminta sesuatu yang nggak masuk akal," ujarku marah.

"Merusak hubungan kami nggak akan mudah, Bin. Aku sudah sama-sama dengan Gavin lebih dari dua tahun," lanjutku.

"Aku nggak akan merusak apapun, Dis. Kita akan bersama dengan jalan yang diberikan Tuhan."

"Jangan mimpi!" ujarku ketus, sambil mengalihkan pandangan.

Aku yang bersandar di rooftop hotel akhirnya menegakkan badan, tanganku beralih mengambil kedua tongkat yang menjadi tumpuhanku berdiri.

Aku tidak bisa lama-lama dengannya.

Semakin kami banyak berbicara, semakin banyak aku mengenang kisah kami dulu.

Aku takut petahananku akan goyah jika terus bersama Bintang.

Aku berjalan meninggalkan Bintang dengan perasaan yang tak bisa ku jelaskan.

Saat aku berhenti dan menoleh kebelakang, Bintang melihatku dengan raut wajah sendu,  membuatku rasanya ingin berbalik dan berjalan ke arahnya lagi.

Tapi yang kulakukan justru hanya diam, kami saling berpandangan lama sampai akhirnya aku menunduk dan berujar pelan.

"Selamat udah jadi dokter sekarang, aku ikut bangga, Bin. Kita masih bisa berteman, lebih dari itu, sekarang aku adalah milik Gavin," ucapku lalu melanjutkan langkah.

Ini tidak mudah, bukan hanya untuk Bintang dan Gavin, tapi untukku juga.

Maaf untuk typo.



Love
Rum

EMPTY   Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang