Empty 35

2.3K 456 115
                                    

Selamat Hari bertemu Bintang.

Selamat Hari bertemu Bintang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Selamat membaca💖

         Sabtu pagi, seminggu setelah kejadian itu, Mama berpamitan pergi ke Butik. Ini adalah kali pertama Mama kembali bekerja setelah batalnya rencana pernikahanku dan Gavin. Selama ini Beliau tidak pernah sekalipun keluar rumah, barang untuk ke supermarketpun  tidak.

Setiap hari rumah bahkan nyaris tak pernah sepi. Papa setiap hari menyempatkan pulang ke rumah ini,  jika pekerjaan banyak, Papa memilih mengerjakannya di rumah.
Vierna tiga hari kemarin juga menginap di rumahku, apalagi suaminya sedang kembali ke negaranya untuk sebuah urusan.

Tapi, hari ini rumah nampak sepi. Papa sedang pulang ke Solo ke tempat Tante Tami yang sedang mengelar acara pernikahan saudaranya. Jadilah aku di rumah sendirian, menghabiskan waktu seharian di kamar.

Kesempatan ini tak kusiakan lagi. Aku merapikan kamar dari segala hal tentang Gavin.

Beberapa baju yang sengaja dia tinggalkan ketika sedang menginap dan beberapa barangnya kumasukan dalam kardus. Nanti, kalau keadaanku sudah membaik dan siap bertemu dengannya,  mungkin akan kupulangkan.

Laptop yang biasa dipakai Gavin kerja di rumah, tak lupa aku masukan juga ke dalam dus. Dadaku kembali berdesir ketika tak sengaja aku melihat beberapa sample undangan dari percetakan.
Undangan berwarna coklat tua, berlapis gold di tiap sisinya kubuka dengan tangan gemetar.

Tadinya kami berdua sepakat akan menggunakan undangan warna dan model ini untuk pernikahan kami.

Tapi semua gagal.

Aku menarik napas, kemudian menghapus air mataku.

Tidak.

Aku tidak boleh menangis lagi.

Hidup ini bukan persoalan cinta saja, lagipula ditinggalkan bukan pertama kali ini kurasakan.

Meski ditinggalkan tiga orang dengan cara yang berbeda, tapi ternyata sama menyakitkannya.

Come on, Gendis! Harusnya kamu tak secengeng ini.

Hidup harus terus berjalan, entah arahnya ke mana, yang kuyakini musibah ini hanya cara Tuhan mendewasakanku. Meski kedewasaannya hanya melulu soal kehilangan dan ditinggalkan.

Kutarik napas panjang sekali lagi, dengan ikhlas kembali kumasukan undangan dan beberapa foto kami dalam satu dus.

Hingga kemudian dering di ponsel membuat pergerakanku hendak menutup kardus berhenti. Dahiku mengeryit saat mengeja nomor baru yang meneleponku.
Hingga kemudian panggilan pertama berhenti, aku bisa menarik napas lega.
Sayangnya kelegaanku tak berlangsung lama, ponselku kembali berdering setelah lima detik kemudian.

"Hallo?" sapaku lebih dulu.

"Assalamualaikum."

Eh, suara ini?

EMPTY   Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang