Empty 39

2.2K 423 55
                                    



      Hari ini tepat hari ke enam festival Musik Amal digelar. Hari ke enam dan ke tujuh musik Festival akan diadakan di nol kilometer kota Jogjakarta. Kami sampai Jogja sekitar pukul delapan pagi setelah menempuh perjalanan Semarang-Jogja selama kurang dari 3 jam.

Aku merebahkan tubuh yang lumayan lelah ketika sampai di penginapan. Kemudian memilih menutup mataku perlahan setelah Kak Tifani pamitan untuk ke supermarket.

Suara ponsel yang berada di saku celana jeansku membuatku bergerak malas untuk mengambilnya.

Kutatap layar ponsel yang berubah layar menjadi putih. Nada pengingat ponsel membuatku kesulitan menelan salivaku sendiri.

'Dua jam menuju menjadi nyonya Gavin Abian Wijaya"

Mataku kembali terpejam, tapi bukan karena aku ingin tidur. Aku hanya sedang mengalihkan rasa sakit yang tiba-tiba menelusup dalam dada.

Aku memegangi dadaku, sebelum akhirnya menangis menumpahkan semuanya. Padahal beberapa hari ini aku sudah mulai melupakan semuanya. Pelan-pelan aku menata hati dengan kesibukan bersama tim yang lainnya meskipun sesekali ucapan turut prihatin mereka terhadap kegagalanku cukup menganggu. Tapi, aku masih bisa menutupinya dengan melakukan berbagai hal.

Sayangnya, hari ini rasanya aku gagal mempertahankan ketegaranku.

Suara ponsel kembali berdering, kali ini aku hafal betul suara pangilan itu dari siapa.

Aku enggan menjawab panggilan Mama, bukan karena apa. Aku hanya takut Mama tahu aku sedang menangis.

Sekitar dua jam kemudian, aku berhasil mengendalikan egoku sendiri. Akhirnya aku memutuskan untuk mandi dan berganti pakaian. Setelahnya, aku menghubungi Mama agar beliau tak khawatir karena aku tak menjawab panggilannya tadi.

"Tadi ponsel Tiwi ketinggalan di kamar, Ma. Tiwi lagi ke bawah sarapan." Aku mencari alasan lain tentu saja, sebab tak ingin Mama berpikir yang tidak-tidak.

"Mama di mana sekarang? Sudah sarapan?" tanyaku ketika Mama nggak langsung jawab.

"Justru Mama bersyukur kamu nggak angkat telepon Mama tadi."

Ucapan Mama bikin aku yang sedang duduk sembari mengeringkan rambut langsung mematikan Hair dryer.

"Ada apa, Ma? memang yang telepon tadi siapa?"

"Bunda, Bunda mau ngomong sama kamu tadi."  Jawaban Mama membuat pungungku kian menegang.

"Bunda ke rumah, Ma?"

Samar, suara hembusan napas Mama yang terdengar berat.

"Bunda ke sini hendak mengabarkan, kalau besok Gavin dan Hana akan menikah."

Pungungku rasanya langsung merosot. Jika aku tak dalam posisi duduk aku yakin aku tak sanggup menyangga tubuhku sendiri.

"Bunda pikir kamu di rumah. Bunda mau menyampaikan ini langsung supaya kamu nggak dengar dari orang lain. Bunda berharap kamu datang sebelum Mama cerita kamu nggak mungkin pulang sebelum acara Festival selesai."

Aku tidak tahu mesti memberi respon apa, badanku lemas sedang bibirku rasanya kelu. Aku tahu mereka akan menikah, tapi apa harus secepat ini?

Satu hari setelah rencana hari pernikahan kami yang gagal.

"Pertiwi?"

Panggilan Mama seketika menyeret kesadaranku.

"Kamu baik-baik saja kan, Nak?"

Aku ngangguk, padahal Mama nggak akan tahu. Justru isakanku kembali lolos .

"Pertiwi, jangan bikin Mama khawatir. Kamu masih dengar Mama kan?"

"Maaf. ma" Jawabku disela isakanku
"Tapi boleh kan untuk sekali ini saja Tiwi nangis?" tanyaku lirih disertai isakanku yang tak bisa kusembunyikan.

Gavin Abian Wijaya.

Bagaimana mungkin aku secara ikhlas melepasnya sementara kami sudah bersama-sama selama tiga tahun ini. Dia yang selalu ada ketika aku butuh teman. Dia yang selalu membagi waktunya menemaniku terapi. Mengantar jemput ketika aku kuliah dan mengajar les piano, yang selalu menungguku selesai manggung padahal dia juga lelah karena baru pulang kerja.

Secepat waktu berlalu, secepat semua kini berubah. Esok Gavin bukan lagi milikku, esok semua yang terjadi antara aku dan Gavin hanya akan menjadi kenangan.

Kegagalan ini tidak akan terjadi jika aku nggak egois. Jika aku berbesar hati menerima Gavin seutuhnya, selama ini Gavin benar-benar mampuh mengimbangiku, tapi aku justru melukainya alih-alih mengakhiri semua dengan Bintang.

Apa yang harus diakhiri?
Sementara semua sudah berakhir dari lama, jadi aku sudah melukai Gavin dan Hana hanya karena egoku kan?

"Menangislah jika itu membuat perasaanmu lebih baik" Ujar Mama ketika suara tangisku mulai mereda.

"Terimakasih, Ma. Maaf bikin Mama cemas," jawabku setelah aku mulai tenang.

"Jika semua nggak terjadi, aku yang hari ini akan lebih dulu menikah dengan Gavin bukan Hana," lanjutku "Aku mau ikhlas, benar-benar ikhlas tapi susah, Ma."

"Mama tahu, untuk itu Menangislah jika memang itu membuat hatimu lebih baik. Kamu nggak sendiri ingat itu baik-baik."

"Iya, Tiwi hanya sedang butuh waktu."

"Nggak apa-apa seberapa banyak waktu yang kamu butuhkan untuk menyembuhkan hatimu Mama akan memberikannya. Asal jangan terus-terusan menyalahkan diri sendiri ya, Nak."  Pesan Mama tenang, seakan Mama tahu yang kubutuhkan adalah waktu untuk membuat hatiku sembuh.

"Ma?"

"Iya?"

"Besok tolong hadiri pernikahan Gavin dan Hana ya, Ma. Datang sama Papa sebagai penganti Pertiwi. Bilang sama Bunda, Tiwi nggak apa-apa, hanya belum bisa datang karena terlanjur sudah sampai Jogja," pintaku pada Mama.

"Iya... besok Mama datang untuk kamu."


Sebenarnya part ini panjang, tapi aku terpaksa pingin ngecut disini biar bisa tamat persis di part 50.

Kangen Bintang? Ada di chapter selanjutnya. InsyaAllah hehe

Love,
Rum

EMPTY   Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang