Empty 16

2.2K 355 59
                                    

Selamat membaca...

Gendis POV

"Gimana senang?"

Aku tersenyum pada Mama yang hari ini menemaniku terapi. Kata dokter perkembangan syaraf tulang belakangku sudah menunjukan kemajuan yang baik.

Meski sedikit, aku sudah bisa menerima rangsangan di kaki sebelah kiri.

Aku sudah merasakan sedikit dingin ketika kakiku berpijak di lantai. Proses panjang penyembuhanku akhirnya membuahkan hasil.

Aku bahagia tentu saja, meski sebenarnya aku sedang dilanda khawatir.
Sudah tiga hari Gavin mengerjakan salah satu proyek di daerah karawang.
Dan selama itu dia juga belum pulang, meskipun kami masih berkomunikasi lancar tapi entah kenapa aku merasa tidak tenang.

"Kenapa? kayaknya Mama lihat kamu nggak bahagia?"

"Pertiwi bahagia, Ma" jawabku menenangkan Mama.

Aku mengambil ponsel di dalam tas, pesan terakhir yang kukirim empat jam yang lalu sebelum berangkat ke rumah sakit belum juga dia baca.

Sesibuk itukah dia?

Terus terang aku tidak tenang setelah tahu bahwa Hana sedang bersama Gavin di proyek itu.

Anggaplah aku berlebihan, tapi setelah mendengar cerita dari saudara Gavin kemarin, aku sekarang sedang tidak memberikan Gavin kepercayaan seratus persen.

Aku masih menunduk memegangi ponsel, supaya ketika Gavin membalas pesanku tadi, aku langsung tahu. Sementara Mama, sedang menuju bagian kantin rumah sakit untuk memesan makan siang kami.

Tak lama kemudian Mama datang, diikuti salah satu pegawai kantin yang membawa makan siang.

"Sup Iga, ya?" tanya Mama yang langsung mendorong satu mangkok sup untukku.

"Terima kasih, Ma," balasku sambil mengatur makanan untuk kami.

"Kalau perkembangannya bagus gini terus, bukan nggak mungkin kamu bisa jalan lagi kan, Wi?"

"Semoga ya, Ma" jawabku semangat, "Nggak bisa ngebayangin kalau udah jadi istri tapi aku terbatas ngelakuin apapun karena kakiku ini."

Mama tersenyum hangat, kemudian kami sibuk dengan makan siang kami. Mama sempat bercerita tentang kemajuan butiknya.
Yang meskipun Mama tidak lagi terlibat secara langsung, tapi Mama sudah memiliki orang yang bisa dipercaya untuk memegang usahanya.

"Permisi."

Aku dan Mama sama-sama menoleh pada sumber suara.

Dadaku rasanya mendadak berdebar saat melihat siapa yang sedang berdiri samping meja kami.

Kenapa dunia sesempit ini?

"Siang Tante Ambar, Gendis," sapa seseorang itu. Saat dia tersenyum ramah, aku sempat menahan napas karena rindu senyum itu.

Bibirku rasanya kelu untuk menjawab salamnya, sementara Mama diam mencermatiku.

"Tante apa kabar? Masih ingat saya?"

Mama masih diam, kemudian beberapa detik selanjutnya Mama tersenyum sambil membalas uluran tangan lelaki itu, "Baik Alhamdulillah. Kamu Bintang, kan?

"Iya Tante saya Bintang," jawabnya tanpa menghilangkan senyum.

Siapapun, tolong aku! Aku ingin pergi dari situasi ini.

"Saya boleh ikut gabung di sini, Tante?" tanya Bintang sopan.

Aku masih diam tidak berani untuk melihat Bintang yang hari ini mengenakan kemeja biru dongker.

"Silahkan, Nak. Kamu di sini siapa yang sakit?" tanya Mama.

EMPTY   Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang