8 - Pro Kontra

157 9 1
                                    

"Besok kerajinan tangan bawa apa?" Tanya Nia disela-sela makan siomay.

"Masih tetap kayak bahan kemarin, kan materi origami belum selesai." Jawab Diandra meminum es jeruk nipis kesukaannya.

Siang ini mereka tidak mempunyai jadwal kelas sampai sore. Jadi setelah selesai kelas, mereka memutuskan untuk jajan dan duduk digazebo, menikmati makanan dan minuman yang mereka beli.

"Eh, Lihat koridor cepat." Nia tiba-tiba menyuruh Diandra dan Riani melihat kearah koridor.

"Apaan?" Toleh Diandra. "Oh kakaknya Riani." lanjutnya sambil tertawa.

"Yups. Betul. Kakaknya Riani." Sahut Nia ikutan meledek.

"Mana mungkin gue punya kakak bucinnya kebangetan gitu. Ogah." Tolak Riani.

"Tapi kalian cocok jadi kakak adik." Ucap Nia.

"Kalau dia beneran kakak gue, udah setiap kali dia lewat, gue tabok. Apalagi sambil ngebucin gitu, iyuh." Balas Riani geli sendiri.

Secara otomatis mereka bertiga langsung tertawa membayangkan jika benar mas bucin itu beneran jadi kakaknya Riani.

"Hai!" Pandu datang dan ikutan nimbrung digazebo. "Ngetawain siapa?" Tanyanya celingukan melihat sekitar mereka. Tidak ada yang aneh apalagi lucu.

"Lo liat kating yang lagi jalan berdua?" Ucap Nia memberi tahu.

"Oh, bucin." Ucap Pandu melihat kearah koridor yang ditunjuk Nia.

"Kok lo tau kalau bucin?" Sahut Diandra penasaran. Bagaimana bisa kata seperti itu muncul dari mulut seorang laki-laki.

"Gue curiga, jangan-jangan ini anak badannya laki-laki tapi mulutnya perempuan?" Curiga Riani.

"Ya enggak, enak aja. Gue sering dengar teman cewek dikelas ngomongin mas itu tiap lewat. Makanya gue bisa tau julukannya." Jawab Pandu menjelaskan.

"Se viral itukah kakak gue?" Tanya Riani pada diri sendiri.

"Emang dia kakak lo? Sorry ya. Enggak maksud gitu." Ucap Pandu yang langsung mendapatkan tawa dari Nia, Riani dan Diandra. "Kok ketawa?" Bingungnya.

"Pandu ih...." heran Diandra tak habis pikir. Masih aja ada cowok yang kayak dia.

"Dia kakak angkatnya Riani. Sama-sama bucin makanya cocok dia jadi kakaknya Riani." Jelas Nia.

"Gue enggak bucin!" Tegas Riani.

"Enggak bucin apa? Tiap kali bikin quotes tentang cinta mulu gitu?" Sahut Diandra.

"Itu karena gue memang suka aja bikin quotes gitu. Beda sama bucin." Riani tak terima.

"Alah hampir sama. Intinya sama-sama tentang c-i-n-t-a." Balas Nia mengeja kata cinta.

"Kalian masih ada kelas?" Tanya Pandu mengalihkan pembicaraan dari kebucinan.

Nia, Diandra, dan Riani menggeleng bersamaan.

"Jalan ayo Di." ajak Pandu tak sungkan lagi dengan keberadaan Nia dan Riani.

"Jalan?" Ucap Diandra memastikan.

Pandu mengangguk.

"Kemana?" Tanya Diandra.

"Ya enggak tau, jalan aja." Jawab Pandu.

Diandra tersenyum, melihat kearah Nia dan Riani yang juga mentapnya.

"Iya, tapi gue mau salat dulu." Jawab Diandra yang diangguki oleh Nia.

"Salat apa?" Tanya Pandu melihat jam tangan yang bertengger ditangannya.

"Dhuhur." Sahut Riani.

"Kalian belum salat?" Tanya Pandu.

Garis Tangan [Sequel - END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang