Jovita berada di kamar Diandra di temani oleh Riani, memeriksa pergelangan kaki Diandra yang sedikit bengkak. Ada juga Esta dan Rinjani menatap bingung dan terkejut karena mendapati kaki Diandra bengkak.
"Kamu istirahat 2-3 hari ya, jangan jalan-jalan biar kakinya cepat membaik." Perintah Jovita khas dengan senyum ramah. Membuat gigi yang tidak rata menambah kesan manis pada senyumnya.
Diandra mengangguk, meski dia sedang memikirkan bagaimana dengan dia mengajar.
"Urusan sekolah ada gue, Ani, sama Esta." Sahut Riani melihat keraguan di wajah Diandra.
Esta dan Ani langsung mengangguk mendengar ucapan Riani.
"Ya sudah, aku pulang dulu. Mau ke rumah sakit buat ambil beberapa obat." Pamit Jovita diangguki oleh semua.
"Dia baik ya." Ucap Esta setelah kepergian Jovita dari kamar mereka.
Diandra mengangguk. Menyetujui ucapan Esta.
-
"Lo gak jenguk Diandra? Gue dengar dari Odello dia tadi keseleo." Tanya Aji kepada Satria yang beberapa menit lalu baru pulang mengantar Jovita ke Rumah Sakit.
Satria menggidikkan bahu.
"Takut baper katanya." Ledek Odello tiba-tiba muncul dari tempat entah dimana tadi dia berada. Pokoknya tau-tau dia sudah didekat Aji dan Satria.
Satria menatap Odello, apa iya? Tapi buat apa juga. Kan memang Satria masih menyimpan rasa sama Diandra.
"Bukannya Satria emang masih ada rasa?" Tambah Aji meledek.
"Eh iya. Kan masih ada bunga bermekaran didalamnya."
Daripada mendengar Odello dan Aji saling melempar ledekan. Satria lebih memilih untuk pergi berkeliling lingkungan.
"Wah kita di tinggal pergi Ji,"
"Di tinggal pas sedang sayang-sayangnya."
-
Dari kejauhan Satria bisa melihat ada Riani yang sedang duduk di teras sembari membaca sebuah buku.
"Ri!" Panggil Satria, dia mulai terbiasa dengan semua teman Diandra. Begitupun juga sebaliknya, teman Diandra juga sudah terbiasa dengan kehidupan mereka yang ada pada lingkup militer. Mereka bagaikan sebuah keluarga besar yang tinggal dalam satu perumahan, bekerja sama untuk ketentraman lingkungan sekitar.
Riani mengangkat kepalanya beralih dari halaman buku yang dia baca. "Eh Satria." ucapnya melepas kaca mata lalu melihat Satria berjalan kearahnya dan duduk disalah satu kursi tak jauh dari Riani duduk. "Mau lihat Diandra?"
Satria diam. Bingung mau bilang apa. "Iya." tiba-tiba kata singkat 'iya' itu keluar dari mulutnya tanpa perintah. Tidak sinkron dengan otak yang bingung mau bilang apa tapi sudah didahului perasaan yang bilang iya karena rasa khawatir.
Dalam hati Riani terkekeh melihat raut wajah Satria yang sedikit bingung saat menjawab ucapannya, ternyata seorang Satria bisa bingung juga soal perasaan. "Dia ada di dalam, tidur mungkin. Soalnya tadi sempat naik suhu badannya."
Satria mengerutkan keningnya, "demam?"
"Kayaknya, tapi tadi udah gue kompres."
Mendengar jawaban Riani, Satria merasa ada rasa plong tersendiri di lubuk hatinya.
"Kalau mau masuk, masuk aja. Didalam ada Esta sama Anjani. Palingan mereka juga pada molor." Riani bangkit dari duduknya.
"Lo sendiri mau kemana?"
"Mau nyari angin biar enak kalau baca." Singkat Riani mendapat senyum dari Satria. "Kenapa senyumnya gitu?"
"Enggak papa, cuma mau tanya aja. Cari angin apa cari Aji?" Goda Satria.
Blush. Pipi Riani langsung memanas. Dia yakin pasti wajahnya berubah pucat pasi karena malu ataupun pipinya langsung berubah memerah. Kenapa Satria bisa bilang gitu coba. Tapi emang bener, sambil mencari angin siapa tahu dapat jodoh. "Tau ah." Riani langsung berjalan dengan perasaan kesal dan malu yang menjadi satu.
Lagi-lagi Satria hanya bisa terkekeh melihat tingkah Riani yang tidak jauh berbeda dari tingkah Aji, semisal Satria sedang meledek mereka berdua. Semenjak kejadian beberapa minggu yang lalu saat Satria memergoki Riani dan Aji sedang berkeliling kampung. Meski saat ditanya, mereka selalu bilang kalau hanya sekedar mencari angin saja. Tapi Satria yakin ada sesuatu diantara mereka, mungkin saja dari kebanyakan di ledeki jadi timbul rasa.
Dengan pelan Satria membuka pintu barak, lalu melewati ruang tamu kecil menuju ruang tengah. Terlihat ada 2 kamar yang saling berhadapan, pintunya terbuka semua meski hanya separuh. Tapi Satria langsung menuju pintu di sebelah kanan, mencoba yakin kalau itu adalah kamar Diandra.
Dan benar saja, Satria membuka pintunya lebar. Ternyata memang kamar Diandra, Satria langsung menutup pintunya separuh dan duduk di tepi ranjang Diandra. Terdengar deru nafas Diandra yang teratur, perhatian Satria fokus kepada kain yang tertempel di kening Diandra. Selama Satria dan Diandra serumah, bisa terhitung Diandra adalah gadis yang kebal akan penyakit. Hampir 2 tahun tinggal serumah bisa dihitung berapa kali Diandra sakit. Kalaupun sakit pasti lebih ke penyakit yang ringan seperti batuk karena kebanyakan makan gorengan, pilek karena kebanyakan minum es, ataupun keduanya secara bebarengan.
Satria menempelkan tangannya ke kening Diandra, lalu ke pipinya secara bergantian. Memastikan kalau suhu tubuhnya sudah turun. Merasa suhu tubuhnya sudah tidak terlalu panas, Satria hendak menarik tangannya kembali. Tapi tiba-tiba tangan Diandra terangkat dan menggenggam tangan Satria yang ada di pipinya. Satria menatapnya was-was takut kalau perbuatannya itu mengganggu kenyamanan Diandra meski Satria merasakan ada perasaan hangat yang tiba-tiba mengalir begitu saja pada tubuhnya. Perasaan yang sama dengan sekitar 5 tahun lalu saat dia baru saja menautkan jari-jemarinya dengan Diandra, ibarat puzzle sudah menemukan kepingangannya. Terasa pas dan cocok.
"Ibu..." lirih Diandra dengan ekspresi muka seseorang yang sedang ketakutan. Sempat Satria merasa lega karena ternyata Diandra hanya mengigau, tapi melihat raut wajah Diandra seperti membuatnya ikut terlarut. Satria yakin pasti Diandra rindu dengan ibunya. Maklum.... selama ini Diandra belum pernah pergi jauh dari keluarga. Tapi mau bagaimana lagi, semuanya sudah terjadi dan Diandra juga sudah memilih jadi ya, harus menerima apapun konsekuensinya. Istilahnya berani mengambil keputusan berarti juga berani menerima apapun resiko yang bakalan terjadi kedepannya.
Dengan pelan, teramat pelan malah. Satria melepas genggaman tangan Diandra. Lalu membenarkam posisi tangan Diandra dan menyelimutinya hingga sebatas bahu.
Cup.
Satria mencium pelan pinggir kening Diandra yang tidak tertutup kain kompres sebentar. Kali ini dia tidak bisa berbuat banyak. Dia hanya bisa berdoa supaya Diandra segera sembuh dan bisa beraktivitas lagi seperti sebelumnya. Selalu tersenyum dan mencoba membawa kebahagiaan para anak yang bersekolah di tapal batas; anak yang penuh akan semangat belajar.
Jumat, 22 Mei 2020
♡
♡
♡
♡
♡
♡♡
♡♡♡To Be Continue
KAMU SEDANG MEMBACA
Garis Tangan [Sequel - END]
Teen Fiction[Sequel of Diandra & Satria] Ketika takdir sudah berkata tentang kita. --- Ketika jarak menjadi penengah antara Diandra dan Satria. Saat mereka terlalu sibuk dengan urusan mereka sendiri. Diandra sibuk dengan kuliah pendidikannya. Satria sibuk deng...