42 - Kecewa

206 9 0
                                    

Hari demi hari terus mereka lewati di tengah perbatasan negara ini. Ada suka ada duka. Suka atas semangat para penduduk untuk kehidupannya, dan duka atas keadaan lingkungan yang jauh seperti daerah perkotaan. Meski tidak banyak yang tau, di setiap pulau pasti ada sebuah tempat menarik yang belum pernah terekspos sebelumnya. Seperti hari ini, hari ini adalah hari minggu. Diandra sudah siap bersolek di depan cermin, menggunakan pakaian casual dan sepatu kets andalannya untuk pergi berdua dengan Satria untuk kesekian kalinya.

"Pagi." Sapa Satria masuk kedalam kamar Diandra. Mendapati Diandra sedang memakan sepiring nasi goreng.

"Eh... pagi Sat." Sapa Diandra tenang.

"Baru sarapan?" Tanya Satria berjalan mendekati Diandra. Duduk di kursi kecil depan Diandra.

Diandra mengangguk, karena mulutnya masih penuh akan makanan.

"Kakinya gimana?" Tanya Satria melirik kaki Diandra yang masih bengkak. "Masih sakit?"

Diandra menggeleng, "enggak. Cuma enggak tau kenapa masih bengkak."

"Kakinya minta istirahat." Ucap Satria terkekeh.

"Iya kali ya...." Jawab Diandra juga terkekeh. "Padahal kayaknya istirahat mulu, enggak pernah kemana-mana. Palingan ke sekolah doang."

Mendengar ucapan Diandra, Satria jadi ingat kata para temannya, jika di pulau Sebatik ini ada sebuah pantai yang bisa disebut sebagai pantai perawan karena belum banyak wisatawan yang mengetahui tempat itu. "Gimana kalau udah sembuh kita main."

"Main?" Tanya Diandra masih berkutat dengan piring dan sendok.

"Iya, di sini ada sebuah pantai. Kata anak-anak indah banget, kita bisa lihat panorama langsung perbatasan Indonesia dan Malaysia melalui garis pantainya."

Mendengar penuturan Satria membuat Diandra langsung meletakkan piringnya di atas meja. Lebih tertarik kepada cerita Satria daripada nasi goreng enak yang dibuat oleh para temannya. Seperti ada sebuah magnet tersendiri ketika Satria bercerita, jarang sekali seorang Satria bercerita seperti Diandra saat mengajar anak-anak di kelas. Ekspresinya benar-benar serius, tidak ada enak-enaknya buat dilihat. Kalau Diandra itu seorang anak kecil, pasti dia langsung menangis karena raut wajah Satria yang menurut Diandra sungguh menakutkan untuk ekspresi bercerita kepada anak. "Nama pantainya?" Tanggap Diandra antusias.

"Pantai Batu Lamampu."

"Lucu namanya." Komentar Diandra.

"Itu bahasa Tidung Artinya Batu Timbul, karena menurut masyarakat sekitar batu itu selalu muncul di permukaan laut, meski sedang pasang tidak membuat batu itu tenggelam."

Kali ini Diandra benar-benar tak bisa menahan tawanya.

"Kenapa? Kok malah ketawa?"

"Hmmm... enggak apa-apa. Cuma enggak tau lucu aja kalau lo lagi cerita. Serius kayak guru killer lagi ngejelasin pelajaran. Kalau gue anak kecil, udah kabur duluan."

"Kenapa kabur?"

"Takut natap muka lo yang serius gitu, gak bakat jadi pecerita." Ledek Diandra mulai terbiasa dengan percakapannya dan Satria setelah sangat lama mereka irit bicara dan entah kenapa tiba-tiba kembali lancar, ada imin-imin liburan kali ya. Hehehe

"Kan emang kamu yang bakat, bukan aku."

"Iya deh iya, terus lanjut-lanjut!" Suruh Diandra kepada Satria untuk melanjutkan ceritanya tentang Pantai Batu Lamampu.

Garis Tangan [Sequel - END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang