BAB 5 - Psikolog

580 69 19
                                    

BAB 5

PSIKOLOG

Apa yang mereka tahu soal gangguan mental? Mereka hanya mengerti tentang orang 'gila'. Mengaitkannya dengan 'kurang iman', atau pula menyatukannya dan memukul rata, bahwa orang yang mengakui punya mental Ilness hanya sedang butuh perhatian. Dia kesepian. Awalnya, Brayn juga berpikir seperti itu terhadap dirinya sendiri. Merasa, bahwa dirinya tidak jauh berbeda dengan orang (mohon maaf) gila.

Atau, mungkin saja aku memang sudah terlanjur jauh dari Tuhan?

Saat Brayn memutuskan untuk kembali rajin shalat, dia menemukan arti 'kurang iman'. Dia memahami, bahwasannya orang sakit tidak hanya butuh beribadah, tapi juga butuh berikhtiar seperti yang Tuhan anjurkan dalam kitab suci. Allah tidak akan sertamerta mengubah hambanya, jika bukan dia sendiri yang mengubah. Ya, Brayn mulai mengerti.

Ditemani Inggit pada suatu hari, dia berkunjung ke salah satu psikolog di pusat kota Bandung. Jujur, awalnya dia malu. Campur aduk.

Apa benar, aku perlu ke psikolog?

"Kamu memang harus konsultasi sama orang yang ngerti, Bra. Ulah cicing wae. Harus cari tahu soal keluhan-keluhan kamu. Tahunan lho kamu ada di situasi ini. Mungkin saja Anxiety itu sudah muncul sejak SD, tapi karena ketidaktahuan, kamu baru sadar sekarang-sekarang."

Sejauh yang diingat, Brayn memang sudah menarik diri dari lingkungan sejak berumur 11 tahun. Dia lebih banyak menghabiskan waktu di kamar. Paling banter, lari bersama satu dua teman menyusuri Papandayan. Selepas masuk SMP, dia bahkan tidak memiliki teman cowok yang benar-benar klop. Hanya saja, memang sudah menjadi idola di kalangan anak-anak cewek. SMA, dia mulai merasa aneh dengan keadaannya.

Kenapaaku merasa sangat rendah diri di hadapan orang lain?

Itu pertanyaan pertama yang muncul.

Sebenarnya tidak masuk akal masalah mental yang dihadapi Brayn. Dia sendiri berasal dari keluarga terpandang di Garut. Kakeknya pensiunan tentara, neneknya pegiat pendidikan semasa muda. Wajah Brayn satu-satunya yang paling kinclong. Mamanya kerja di salah satu perusahaan besar di Garut. Tubuh Brayn menjulang proporsional. Hanya saja, itu tadi, dia merasa tidak sempurna karena tidak memiliki ayah.

Sejak kecil memang sudah dicekoki dengan berbagai Bullying, perbandingan dan penumpahan kesalahan. Sehingga tumbuh kecemasan yang berlebih. Muncul ketakutan akan sebuah pengakuan. Bahkan pikirannya memang sudah menjurus kepada keburukan, "Mereka semua benci aku."

"Nama saya Brayn," desah cowok itu saat berhadapan dengan seorang laki-laki, berkacamata, dan terlihat ramah pada kali pertama.

Ruangan itu amat sejuk. Di dalam ruangan bercat putih, hanya ada satu meja di tengah-tengah, dua kursi di depan dan belakang meja, satu lemari yang penuh hiasan dan buku-buku soal psikolog, serta satu sofa panjang di belakang. Tempat keluarga, atau orang lain menunggu. Meski ruangan itu sejuk, bagi Brayn tidak. Badannya panas.

Inggit sendiri menunggu di sofa belakang, memainkan ponsel. Sementara kupingnya tetap menyambar kalimat-kalimat yang Brayn utarakan kepada Psokolog, juga tanggapan dari lelaki gembul berusia 45 tahunan itu.

"Saya selalu merasa cemas." Ucapan Brayn terdengar kaku.

"Cemas kenapa? Pemuda mah wajar cemas. Apalagi baru punya cewek idaman. Ya nggak, Teh?" Pak Rudi tertawa sambil mengerlingkan mata ke arah Inggit.

Inggit spontan menutup bibir, wajahnya bersemu merah. Gitu-gitu juga Bu Purno bucin kalau disentil soal asmara.

"Apalagi yang kamu rasakan?" Pak Rudi kembali fokus kepada Brayn.

My Bra (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang