BAB 13 - Rumah Joice

290 46 5
                                    

BAB 13

Rumah Joice

Pelan-pelan, Brayn berjalan di lorong kampus. Sambil melangkah, matanya fokus ke ponsel. Dia sedang chit-chat bersama Joice. Rupanya, cewek itu mengajak Brayn untuk syuting di rumah. Untung saja Brayn sudah siap dengan kamera dan juga peralatan sederhana untuk sekadar merekam video.

Waktu hari Minggu, mereka memang bertemu lagi. Brayn bohong kepada Inggit sore itu. Dia sebenarnya menemui Joice, bukan membayar internet. Pertemuan itu terjadi di salah satu tempat makan. Mereka mengobrolkan konsep yang akan dilakukan di video pertama. Tanpa waktu lama, hari ini mereka akan membuat video.

"Di rumahku ada studio khusus. Kalau dipakek buat ngebikin video, nggak bakal ngecewain deh." Begitu kata Joice melalui pesan di aplikasi.

"Oke deh kalau kamu yang jamin."

Tadinya, Brayn ingin mengajak Joice syuting di tempat-tempat yang lagi hype, atau setidaknya enak ketika ruangannya tertangkap kamera. Tempatnya rapi, unik, dan menarik. Namun Joice menolak, jika membuat video di luar, secara otomatis dia tidak akan bebas melakukan apa pun. Akan ada rasa canggung. Bahkan gangguan lainnya. Bisa saja videonya jadi tidak menarik karena bising. Namanya juga dunia luar, kata Joice.

"Bro, duluan ya." Seorang cowok berambut sebahu melambai ke arah Brayn.

Brayn mengangguk, membalas lambaian.

Beberapa teman Brayn tersenyum. Mereka berkata akan pergi ke suatu tempat untuk sekadar nongkrong. Namun sejak pertama kali masuk kuliah, Brayn paling malas ikut kegiatan mereka. Terlebih, Brayn kurang begitu suka kongkow dan dikelilingi orang banyak. Dia pernah ikut beberapa kali kegiatan mereka hanya sekadar untuk menghargai.

Hubungan Brayn dengan kawan-kawannya tidak ada masalah. Hanya saja dia memang membatasi kegiatan di luar. Kecuali kalau ada kerja kelompok atau project film pendek.

Ketika Brayn sudah sampai di lantai bawah kampus, ponselnya tiba-tiba berdering.

"Ya, Nggit."

"Di mana?"

"Masih di kampus."

"Aku tunggu di depan ya."

"Kamu pulang duluan aja. Nggak apa-apa kan?" Brayn menelan ludah. "Aku masih ada perlu."

"Oh ... oke."

"Oke."

Brayn mengembuskan napas saat menutup telepon. Untuk kesekian kalinya, dia tidak membicarakan pertemuannya dengan Joice. Belum saatnya, pikir Brayn. Mungkin dia akan membicarakannya ketika video sudah jadi, sebelum benar-benar diunggah.

***

Sepanjang jalan, Brayn tidak bisa tenang. Dadanya berdegup kencang saat kedua tangan Joice memeluk erat dari belakang. Sering dia membonceng Inggit, tapi cewek itu tidak seperti Joice, yang Brayn pikir, berlebihan. Paling banter, Inggit memegang pundak kalau memang Brayn membawa motor agak kencang.

"Emang aku tukang ojek? Megangnya yang bener dong!" Begitu kata Brayn saat pundaknya mulai terasa geli karena tangan Inggit.

"Daripada aku meluk?" Joice menyela. "Entar kamu pingsan di jalan lagi ...."

Saat ini, Joice justru melingkarkan tangan di pinggang tanpa disuruh. Jelas Brayn merasa seperti orang mati yang tiba-tiba hidup. Badannya mendadak panas. Desiran di badannya persis seperti air shower yang hangat, yang selalu Brayn rasakan setiap mandi. Dan ya, desiran itu lebih parah dari sekadar gelontoran air.

My Bra (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang