BAB 23 - Tempat Baru

255 42 12
                                    

Hallo. Pasti nungguin ya? Aku lupa, ternyata kemarin itu Kamis. Kukira Rabu. Jadi deh, nggak update. So, aku update hari ini ya. Semoga sukaaaaa.

***

BAB 23

TEMPAT BARU

Sudah satu minggu sejak kepergian Brayn, Anggun sakit yang ditandai dengan demam dan mual-mual. Pertengkaran hebat antara dirinya dengan Brayn, membuatnya semakin tak berdaya. Tekanan itu membuatnya banyak pikiran, hingga berpengaruh terhadap kesehatannya. Sudah tiga kali dokter datang, memberikan obat, tapi sampai saat ini, Anggun malah merasa semakin berat dengan keadaan dirinya sendiri.

Gara-gara pertengkaran itu pula, Alea juga ikutan sakit. Dia paling tidak tahan jika ada pertengkaran. Secara otomatis, otaknya membayangkan kembali perlakuan kasar yang dilakukan mamanya. Alea bahkan menolak digendong dan juga disuapi. Sebagai ibu sambung, Anggun ikut merasa bersalah.

Detik ini, perempuan itu terbaring lemas dia atas kasur. Wajahnya pucat pasi. Sementara dari tadi, air mata tak berhenti mengalir. Bayangkan saja, anak yang selalu berusaha dia mengerti, pada akhirnya harus benar-benar berontak, dan pergi dari rumah.

Wanita itu bangun dari tempat tidur, mengecek ponsel. Berharap, Brayn ada menelepon. Sejak kepergiannya itu, nomor Brayn tidak aktif. Entah diblokir, atau memang ganti nomor. Nihil, telepon atau setidaknya chat, tidak pernah ada. Anggun sadar, Brayn sama seperti dirinya yang pantang menyerah. Keras kepala lebih tepatnya.

"Kalau saja kamu tahu sakitnya Mama waktu itu, pasti kamu nggak akan semarah ini ....." Anggun menatap foto Brayn yang dijadikan sebagai walpaper ponsel. "Mama belum bisa membuka diri untuk dia, Bra. Mama belum bisa." Tangisnya pecah lagi, tangannya juga gemetar.

"Didua itu nggak enak, Bra. Dia membohongi Mama selama tahunan!" Anggun menggigit bibir. Setetes air matanya jatuh di atas ponsel. "Maafkan Mama karena belum bisa bahagiain kamu."

Kamar pengapnya (karena gorden tidak dibuka dari pagi) menjadi saksi bahwa Anggun semakin terpuruk. Ketakutan Anggun memuncak. Brayn yang diharapkan akan ada di sisinya terus-menerus, saat ini malah menghilang, dengan akhir yang menegangkan.

Anggun akhirnya bergerak ke arah jendela untuk membuka gorden. Cahaya mentari tengah hari masuk melalui kaca. Diam di kamar seharian, membuatnya seperti mayat hidup. Dia merasa harus melakukan sesuatu. Harus! Dia lantas mengotak-atik ponsel kembali. Dia mengarahkan jari untuk membuka kontak yang telah diblokir sejak beberapa hari lalu. Namun lagi-lagi, dia menggeleng.

Hatinya terlalu pedih. Dia benar-benar tidak tahan. Belum, dia belum bisa merelakan egonya untuk membiarkan lelaki itu masuk kembali ke dalam kehidupannya dan juga Brayn. Anggun merasa tidak mungkin untuk membuka kembali jahitan luka di hatinya.

"Maafkan Mama, Bra," lirihnya.

Anggun membalikkan badan, lantas menyender di dinding kamar. Sejenak, dia membekam mulut. Mencoba meredamkan tangis. Dia tidak tahu, sampai kapan luka itu menghantuinya.

***

Ketukan pintu di depan membuat Brayn menggeliat. Matanya melirik ke dinding. Pukul tujuh pagi. Siapa pula yang menggedor-gedor pintu? Bukankah ini ruangan yang berbeda dengan kamarnya? Perlahan, Brayn bangun, padahal masih sangat ngantuk.

"Pagi ....." Joice tersenyum lebar saat Brayn membukakan pintu.

Brayn yang baru bangun malah menggisik mata, lantas memonyongkan bibir saat mengetahui Joice yang datang. "Ngapain pagi-pagi ganggu orang?"

Tanpa menjawab, Joice melangkah masuk, melewati Brayn begitu saja. Dia duduk di dipan kayu yang didesain untuk satu orang. Sekilas, dia mengamati seisi ruangan. Semenit kemudian, dia menggeleng ketika menyadari sesuatu.

My Bra (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang