BAB 20 - Bertemu Joice

262 42 0
                                    

Hay, My Bra update lagi. Inget lho, cerita ini akan rutin di up setiap Senin dan Kamis. Ikutin terusssss.

***

BAB 20

Bertemu Joice

Brayn menyender di kursi berbahan kayu. Dia sedang berada di salah satu kafe di pinggiran Dago. Espresso yang sudah dipesan, bertengger di meja. Baru disesap sekali. Pikirannya kalut. Mata bulatnya mengamati langit-langit ruangan yang bersih.

Fyuh!

Brayn memejamkan mata sejenak. Dia berusaha menenangkan diri. Baginya, informasi soal Papabenar-benar membuat shock. Sampai-sampai dia harus keluar dari rumah. Membiurkan motor dengan segala emosi yang membuncah. Malam-malam, sendirian.

Ponsel miliknya tergeletak di sisi cangkir berisi kopi. Sesekali, dia melihat benda itu. Menimbang dan berpikir. Sampai kemudian, dia memutuskan untuk mengambil HP, lantas mencari kontak bernama Purno. Brayn meneleponnya.

Terdengar suara tanda tersambung. Nomornya aktif. Sambil menunggu, dia mengusap wajah yang merah. Beberapa kali, dia juga menggeserkan kursi. Gusar.

Apa Inggit sudah tidur?

Brayn tidak menyerah untuk menghubungi Inggit, tetapi sekarang nomornya malah tidak aktif. Inggit tidak mengangkat telepon dan mematikannya?

Ingin sekali Brayn melempar ponsel. Tapi dia mengurungkan niat. Tidak ada gunanya Brayn melakukan itu. Dia memang sudah seharusnya sadar, bahwa Inggit tidak akan ada selamanya. Apalagi melihat sikap cewek itu beberapa saat lalu. Bukankah perkataan Inggit cukup menggambarkan kekecewaan? Kali ini, Brayn mengaktifkan data ponsel untuk membuka aplikasi chat. Nama Joice muncul di deretan teratas.

Makasih sudah di-upload. Respon orang-orang bagus banget. Kolom komentar youtube-mu jebol!

Brayn tersenyum dipaksakan. Dia mengetik untuk membalas.

Sama-sama.

Sesaat setelah Brayn membalas, Joice menelepon melalui aplikasi. Tak tanggung-tanggung, dia menghubungi menggunakan mode video. Meskipun kesal, Brayn tetap mengangkatnya. "Hai, kenapa pake nelepon segala?"

"Nggak boleh?" Joice tertawa di seberang sana. "Eh, kamu lagi di luar? Sama temenmu itu bukan?"

"Sendiri!"

Joice mengangguk-angguk. "Tumben. Biasanya nggak pernah lepas sama dia?"

Gigi Brayn bergemeletuk, dia seperti akan menyemburkan umpatan.

"Aku mau curhat," desah Joice sebelum Brayn mengucapkan protesannya.

"Soal apa?"

"Soal Mamaku."

"Curhat aja sekarang."

Brayn tidak pernah mau untuk sedikit menenangkan atau bersimpati. Brayn seperti sedang memakai motor. Ngegas melulu soalnya.

"Aku butuh ketemu." Joice melirik ke setiap arah. "Itu kamu di mana?"

"Di kafe Mahkota."

"Oke, aku ke sana ya. Bye. Sampai ketemu."

Klik.Telepon ditutup dari sana.

Brayn merasa berang. Dia tak habis pikir dengan cewek itu. Belum juga Brayn menjawab 'boleh'. Joice main nyelonong. Tapi ya, barangkali Tuhan memang mengirimkan dia buat sekadar menemani. Lagipula, sepertinya Joice juga sedang bermasalah. Siapa tahu mereka bisa saling menguatkan?

My Bra (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang