BAB 7
BERTEMU JOICE
Sabtu sore.
Brayn mengembuskan napas setelah memarkirkan motor matic di depan salah satu kafe di sekitaran Jalan Djuanda. Kafe itu cukup sepi. Hanya ada beberapa pasang muda-mudi yang keluar, kemudian digantikan dengan pasangan lain.
Sebelum berangkat ke sini, Sebenarnya Brayn ingin mengajak Inggit. Setidaknya, dia memiliki alasan di hadapan Joice ketika berniat pulang cepat. Tapi kemudian, Brayn mengurungkan keinginan.
Masih ingat saat Inggit bertanya soal Joice yang menelepon? Inggit berkata begini setelah Brayn bercerita soal Joice:
"Hak kamu kalau mau hubungan lebih deket sama Joice! Aku bukan siapa-siapa kamu yang bisa ngelarang-larang. Lagian, kamu memang harus mulai membuka diri untuk orang baru, kan?"
Brayn mengerti, itu kalimat paling 'serius' yang pernah Inggit ucapkan. Karena keseriusan itu, Brayn heran. Tidak biasanya Inggit begitu. Cowok itu tidak bodoh juga. Dia tahu sesuatu yang dipikirkan sahabatnya.
Langkah yang cenderung cepat, menjadi pemandangan sore ini bagi sebagian orang. Mungkin mereka menyangka jika Brayn sedang mengejar waktu. Dia telah ditunggui seseorang, sedang kebelet pipis, atau mungkin mau menemui calon mertua?
Masuk ke dalam ruangan, badan Brayn tertiup AC. Dia juga disambut dinding khas anak muda yang ditempeli kata-kata motivasi juga gambar gelas dan tumpahan kopi. Anak-anak indie pasti sering nongkrong di sini. Penyuka senja kebanyakan ngebucin di kafe yang cukup terkenal ini.
Di pojok belakang, seorang cewek duduk santai, menyender di kursi kayu ukiran. Dia melambaikan tangan setelah melihat keberadaan Brayn.
Penampilan Joice berbeda dari biasanya. Pemandangan glamour-nya tidak terlihat. Rambutnya diikat. Gayanya sederhana. Kaus berwarna biru (lumayan ketat), dan celana pendek di atas lutut, menjadi perpaduan yang membuat dia terlihat lebih muda.
"Kirain kamu bohong mau dateng ke sini ....."
Tak menjawab, Brayn memilih duduk di hadapan Joice. "Jadi, gimana soal bisnis kamu itu?"
"Kamu nggak lagi buru-buru, kan?" Joice membuka buku menu, lalu menyodorkannya kepada Brayn. "Mesen dulu sesuatu gih. Biar ngobrolnya enak."
Brayn berpikir cukup lama. Hingga kemudian dia memutuskan untuk menuruti Joice. Dia menarik buku menu ke hadapannya. Benda yang tebalnya tak lebih dari 2 sentimeter itu dibuka lembar per lembar. Brayn, Brayn, untuk memutuskan memesan atau tidak saja, lamanya minta ampun, apalagi untuk memutuskan siapa yang pantas jadi pengisi hatimu? Duh ....
Mata Brayn tertuju kepada Espresso dingin pada akhirnya. Sepertinya menyenangkan jika Brayn bisa memberi hadiah kepada tenggorokan yang kesat dan kering.
Sebenarnya, kafe ini menyediakan makanan dan minuman yang cukup lengkap. Tidak hanya kopi yang tersedia. Makanan mainstream seperti ramen, nasi goreng, berbagai jenis kue, juga makanan berat lainnya dijual di sini. Minuman juga ada berbagai varian. Selain jenis kopi, jus dengan tingkat kesegaran tinggi juga ada. Tapi dasar Brayn, hanya kopi yang bisa membuatnya lebih rileks.
"Yakin pesen kopi?" Joice keheranan. Pertanyaan itu muncul setelah pelayan pergi.
"Bebas kan?"
Joice tersenyum. "Aku juga mesen Espresso soalnya."
"Ada masalah kalau sama?"
Joice menggeleng. Dia memilih melanjutkan senyum-senyum sendiri.
Cewek aneh!
KAMU SEDANG MEMBACA
My Bra (TERBIT)
RomanceNOVEL INI TERBIT DI ELEX MEDIA. SEBAGIAN BAB DIHILANGKAN DEMI KEBUTUHAN PENERBITAN. ------- Brayn Kiel Suherman, youtuber ganteng dan berkarisma. Kepergian sang ayah sejak lahir membuatnya benci dengan kenyataan bahwa dia seorang blasteran. Apalagi...