BAB 8 - NEW FAMILY

372 49 1
                                    

BAB 8

NEW FAMILY

Suara mobil di halaman rumah membuat mata Brayn sedikit memicing ke arah jendela. Tidak salah lagi, dua anak dari suami mamanya ternyata memang benar-benar datang. Ah, rasa tidak nyaman membuat rongga dada Brayn penuh.

Aku harus ngapain?

Tadinya, kedua anak itu akan datang satu hari sebelumnya. Dengar-dengar dari mama yang bicara tanpa dipinta, anak sulung yang usianya 4 tahun lebih tua dari Brayn, masih di luar kota.

Terdengar derai tawa dari bawah. Sesak. Dari tawa itu, Brayn bisa merasakan kehangatan. Lantas, kenapa dirinya masih menjadi orang paling dingin? Brayn menutup laptop dan diam di tempat.

"Bra ...." Itu suara mama.

Ludah Brayn terasa pahit. Dia tidak habis pikir dengan dirinya sendiri. Badannya seperti ditindih besi. Bukankah pertemuan baru akan dilakukan?

"Iya, Ma ...," jawab Brayn pada akhirnya.

"Mama tunggu di bawah ya. Kakak dan adikmu sudah datang."

Kakak dan adik?

Mudah sekali mama berkata begitu. Sedangkan, untuk mendapatkan logika terbaik tentang keluarga baru saja, Brayn kesulitan.

Cowok itu berdiri dari tempat nyamannya. Dia terus-terusan mengompori hati supaya berani untuk bertemu dengan mereka. Say Hello, salaman, serta berpelukan. Ingin sekali dia berkata panjang lebar di hadapan mereka seperti keluarga yang telah belasan tahun bersama.

Nggak semudah itu Perguso!

Kali ini, Brayn benar-benar menggerakan kaki. Pelan. Dia juga berancang-ancang untuk tersenyum lebar di hadapan mereka. Meski tidak suka bertemu orang baru, norma kesopanan yang selalu diajarkan oleh keluarga besar di Garut (terutama kata-kata nenek), masih dia pegang.

Tidak apa-apa kalau kamu tidak suka sama orang lain, asal tetap sopan.

Langkahnya lambat sekali. Menuruni anak tangga sudah seperti menuruni lipatan-lipatan kepahitan saat diputusin doi. Eeeh, bukannya Brayn belum pernah merasakan diputusin cewek? Ah, tapi biarpun jomblo, Brayn tetap menjadi idola.

"Wey ...." Seorang cowok dengan wajah cerah, mengangkat tangan. Dia menghampiri Brayn yang sudah menunuri anak tangga terakhir. "Apa kabar?"

"Baik," desah Brayn.

"Nggak nyesel gue punya Mama baru." Dia tertawa. "Ada teman maen PS juga entar."

Tawa di ruangan itu bergulir.

Seorang anak kecil berusia empat tahun melangkah ke arah Brayn. Senyumnya tertahan. Malu-malu. Kelihatannya, dia juga ingin disapa.

Brayn berjongkok, mengelus pipi anak itu. "Hai ...."

"Hai ...." Wajah anak itu merah padam.

"Namanya siapa?" tanya Brayn.

"Alea."

Brayn mengangguk-angguk. "Saya Kak Brayn."

"Hallo Kak Brayn." Senyumnya makin lebar. "Kata Papa, Kakak suka nonton film? Nanti temenin Alea nonton film Barby dan Frozen ya?"

Cowok itu tidak bisa menahan tawa. Baru kali ini ada tawa tulus yang berhubungan dengan 'keluarga baru'. Padahal kalau dilihat-lihat, bukankah Brayn tidak pernah mau menerima? Brayn merasa nyaman dengan Alea.

"Bro, lu nggak mau nanya nama gue?" Kakaknya terlihat sangat akrab kepada Brayn.

Brayn berdiri. Wajahnya terlihat datar. "Sudah tahu. Nggak perlu ditanya lagi."

My Bra (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang