BAB 12 - Masalah

312 46 1
                                    

BAB 12

MASALAH

Nada dering ponsel menggema di ruang keluarga. Anggun terperanjat saat mendapati seseorang meneleponnya melalui fitur Whatsapp. Namun perempuan itu hanya melihat benda tersebut, dan membiarkannya begitu saja. Wanita itu mengusap wajah. Terlihat kalau dia sedang banyak pikiran.

Ponselnya masih berdering. Sepertinya orang yang menelepon tidak bosan untuk membuat Anggun kesal. Hingga membuatnya kehilangan kesabaran. Terpaksa, dia mengusap gambar telepon yang berwarna hijau di layar, lalu menempelkannya dengan enggan di telinga.

"Hallo ....." Nada suaranya sumbang.

Terdengar kalimat panjang dari luar sana yang bercampur dengan bisingnya jalanan. Entah, sepertinya yang menelepon adalah tukang bengkel, atau tukang bakso, atau bahkan tukang parkir, yang mengurusi kendaraan di tempat-tempat ramai.

"Enggak-enggak!" tegas Anggun. "Kesabaran saya sudah habis ya, Teh. Pokoknya saya nggak mau semua itu terjadi. Kalau sampai ada sesuatu, saya nggak akan diam. Teteh yang salah di sini!"

Anggun menutup telepon dengan wajah merah, lalu melemparkan benda itu ke atas meja. Dia memijit kening yang tiba-tiba terasa sakit.

"Bu, mau dibuatkan teh?" Seorang perempuan berwajah kalem, dengan senyum sumbringah, berdiri di hadapan Anggun.

"Eh, Bi Wati. Kirain siapa." Dia tersenyum. "Boleh Bi, yang anget ya. Gulanya dikit aja."

Perempuan yang disebut Bi Wati, mengangguk, lantas menghilang dari ruangan. Bi Wati adalah pembantu Hanung di rumah sebelumnya. Mau tidak mau, perempuan itu ikut diboyong untuk bisa melayani anak-anak. Setidaknya ketika bekerja, Hanung dan Anggun tidak khawatir karena ada yang menyiapkan makanan dan juga mengasuh Alea.

Ruangan itu kembali sunyi. Anggun masih berusaha membuat dirinya lebih positif. Beberapa kali, wanita itu menarik napas, lalu mengembuskannya lagi. Berharap, sesuatu yang mengganggu pikiran, bisa segera hilang.

"Assalamualaikum." Suara Brayn.

"Waalaikumsalam." Anggun menjawab pelan.

Dia menatap sejenak mamanya saat melewati sofa. Brayn mengamati penampilan mama dari atas sampai bawah, masih setelan kantor. "Mama baik-baik saja?"

Anggun sedikit tersentak. Jarang sekali Brayn menanyakan sesuatu yang berhubungan dengan dirinya. Pertanyaan Brayn justru membuat Anggun semakin gusar.

"Mama baik-baik saja, Bra." Dia tersenyum. "Hanya saja sedang banyak kerjaan di kantor."

Bibir Brayn melebar, mengangguk, "Oke ....."

"Kamu dari mana?" Anggun balik bertanya. "Gara sama Alea mana?"

Brayn tidak menjawab pertanyaan pertamanya. Tidak penting juga bagi dia untuk berbagi cerita. Mengenai pertanyaan lanjutan sang mama, Brayn mengangkat bahu. Mana dia tahu Gara dan Alea di mana. Brayn bukan pengasuh mereka.

Panjang umur. Pertanyaan Anggun disambut kedatangan Gara dan Alea. Suaranya terdengar hingga ke ruang keluarga. Tawa dan bercandaan Gara menggema dari balik pintu depan.

"Enak ya Dek makanannya. Kapan-kapan kita main lagi ke rumah Kak Inggit."

"Hei!" Anggun buru-buru berdiri. "Alea dari mana, Sayang?"

Anak yang dituntun Gara langsung berlari, memeluk Anggun. Anak itu sudah terbiasa dengan keberadaan istri papanya. Apalagi anak usia Alea memang sangat perlu perhatian dan kasih sayang. Meskipun faktanya, mereka baru hidup serumah selama satu minggu.

"Habis makan-makan di rumah Inggit kita." Gara yang menjawab.

Mendengar perkataan itu, Brayn melotot.

My Bra (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang