BAB 11
INGGIT DWI PURNAMA
Suara tuts laptop yang ditekan-tekan memenuhi ruangan kamar ber-cat merah muda. Tempat yang dipenuhi dengan quotes dari beberapa penulis terkenal dalam novel-novel mereka. Inggit mencetak, memberikan bingkai, dan memasangnya dengan rapi di dinding. Diselangi dengan foto yang dicetak, dan dijepit di tali temali. Ruangan itu terlihat ramai dan warna-warni.
Inggit duduk di kursi berwarna coklat. Kursi kayu yang sudah menemani dirinya setidaknya 8 tahun terakhir sejak kelas 1 SMP. Kalian salah besar jika menganggap Inggit asli orang Bandung. Dia tidak tinggal di rumah ini sejak kecil.
"Kerinduan."
Inggit memang menuliskan catatan hati, lembar demi lembar, ketika rindu itu menghampiri. Terlihat melankolis memang. Apalagi Inggit adalah orang yang selalu ceria dengan ucapan ceplas-ceplos dan kadang menjengkelkan. Tapi, siapa yang tahu isi hatinya? Orang yang selalu terlihat bahagia, belum tentu bahagia bukan? Di umurnya yang sudah menginjak 20 tahun, Inggit makin mengerti bahwa rindu itu sangat berarti.
Dua belas tahun lalu di Tasikmalaya, hidupnya tampak lebih berwarna. Papanya ada. Selalu mengajak Inggit main Petak Umpet, Layangan, Congklak, atau permainan-permainan tradisional lain. Inggit bahagia, bahkan di antara anak perempuan lain, mungkin dia yang paling mahir memainkan beberapa permainan, sebab sering sekali latihan bersama Bapak.
Namun, kebahagiaan yang selalu didampingi sosok tegas itu perlahan menghilang saat tiba-tiba Inggit melihat sebuah kejanggalan. Bagi Inggit kecil, itu adalah kejanggalan.
"Bapak nggak akan ke mana-mana kan?" tanya Inggit suatu hari. Dia sangat cemas melihat sang ayah memasukkan baju ke dalam koper.
Seorang lelaki tegap dengan kumis tipis, tertawa. "Bapak pergi dulu sebentar. Nanti juga pulang."
"Neng ikut atuh, Pak." Inggit mendekat, memegang tangan ayahnya. "Ya, ya?"
"Neng sama Mama di sini. Nanti kalau sudah memungkinkan, Papa akan bawa Neng pindah."
Inggit tahu betul, membereskan barang sebanyak itu tidak mungkin meninggalkannya dalam waktu sebentar. Dia tidak mau ditinggal pergi.
Faktanya, Inggit ditinggal selama 2 tahun. Selama itu pula, Inggit benar-benar merasa kehilangan. Apalagi tidak bisa setiap hari Bapak menelepon. Tugasnya sebagai abdi negara jelas lebih penting.
Sejak kecil, Inggit memang terbiasa ditinggal pergi Bapak yang seorang tentara. Dia lebih banyak menghabiskan waktu bersama sang mama pada akhirnya. Untung saja mamanya sabar. Dia bisa menghadapi Inggit yang rewel dan selalu bertanya soal kepulangan papa.
Inggit pernah dibawa pindah ke Sumatera saat usianya 10 tahun. Namun 1 tahun kemudian, dia dikembalikan ke Tasikmalaya karena papanya ditugaskan di tempat yang lebih jauh. Bapak tidak mau mengambil risiko jika keluarganya diboyong ke Irian Jaya. Sampai saat ini, Bapak masih bertugas di Papua. Sampai kemudian, Mama memilih pindah ke Bandung setelah Inggit lulus SD. Mama berpikir untuk mengalihkan perhatian Inggit supaya tidak selalu bertanya soal Bapak.
Inggit menyeka mata ketika mengingat kebahagiaan dan kebersamaannya bersama Bapak. Dia dan Bapak lebih dari lem yang lengket dan saling melekat. Apalagi kedisiplinan dan juga keberanian yang selalu Bapak ajarkan di kehidupan Inggit. Cewek itu rindu diajari tentang kehidupan. Makanya, hari-hari di 8 tahun terakhir ini membuat Inggit merasa sangat sepi dan membutuhkan teman mengobrol.
"Papa kapan pulang?" Kapan hari Inggit berbincang dengan Bapak.
"Paling tahun depan," jelas sang Bapak dengan suara berat.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Bra (TERBIT)
RomanceNOVEL INI TERBIT DI ELEX MEDIA. SEBAGIAN BAB DIHILANGKAN DEMI KEBUTUHAN PENERBITAN. ------- Brayn Kiel Suherman, youtuber ganteng dan berkarisma. Kepergian sang ayah sejak lahir membuatnya benci dengan kenyataan bahwa dia seorang blasteran. Apalagi...